FESTIVAL LAYANG-LAYANG

Posting Komentar
“Pokoknya aku nggak mau sekolah lagi.” Gerutu Fandi pada ibunya. Sedari pulang sekolah ia terus saja menggerutu seperti itu.
“Memangnya kenapa Sayang? Sini cerita ke ibu.” Tanya ibu pada Fandi sembari memeluk Fandi dengan lembut. Fandi hanya diam saja, matanya tertuju pada buku favoritnya, Superhero Zaman Now.
“Ada yang mengejek Fandi lagi?” Pancing ibu pada Fandi yang masih belum mau buka suara.
“Ibu kan sudah bilang, jangan pedulikan mereka. Fandi memang tidak pernah dijemput ayah ke sekolah. Bukan karena ayah tidak sayang sama Fandi.”
“Terus karena apa Bu?” Fandi memotong kalimat ibu. “Kalau ayah sayang sama Fandi, seharusnya ayah ada disini bersama kita, bisa menjemput dan mengantar Fandi ke sekolah, seperti ayah teman-teman Fandi.”

Ibu menarik nafas panjang, matanya berkaca-kaca. Ibu sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak tumpah. Ibu tidak ingin Fandi melihatnya menangis. Akhir-akhir ini Fandi sering menanyakan ayahnya, dan ia marah karena ayahnya tidak bisa menemani disini. Fandi merasa berbeda dengan teman-temannya. Dulu Fandi menanyakan ayahnya karena kangen. Meskipun berujung pada tangisan, ibu masih bisa menenangkannya dan mengajaknya berdoa. “Kalau Fandi kangen ayah, lebih baik Fandi kirim doa untuk ayah. Agar ayah bahagia di alam kubur dan  berdoa supaya kita bisa berkumpul lagi dengan ayah kelak di surga.” Bujuk ibu waktu itu. Ampuh, Fandi akan diam dari tangisannya dan membaca doa untuk ayahnya dengan khusyu dan tenang.

Namun, Beberapa bulan ini  Fandi menanyakan ayahnya karena ia merasa berbeda dengan teman-temannya. Di kelas, hanya ia seorang yang tidak punya ayah. Robi, Candra dan Galang suka sekali usil mengejek Fandi yang tidak pernah diantar atau dijemput ayahnya di sekolah. Karena ejekan mereka, Fandi sempat mogok sekolah. Waktu itu, Ibu memutuskan melapor ke pihak sekolah. Pihak sekolah pun berinisiatif mengajak Fandi dan teman-teman sekelasnya mengunjungi Panti Asuhan, berbagi dengan anak-anak yatim piatu. Di sana mereka akhirnya tahu bahwa tidak  semua anak beruntung bisa hidup dan tinggal bersama orangtuanya, termasuk Fandi. Ayah Fandi meninggal sekitar tiga tahun yang lalu, saat usia Fandi enam tahun. Sesuai arahan guru, mereka pun saling berpelukan, meminta maaf pada Fandi. Ibu kira masalah ini sudah berakhir karena sudah cukup lama Fandi tidak mengeluhkan teman-temannya.

“Nak, Kenapa diam saja? Ayo sini cerita ke ibu.” Ibu mengulangi pertanyaannya sembari menatap Fandi dengan lembut. Fandi masih cemberut. Mulutnya manyun.
“Fandi malu bu. Aku nggak punya ayah seperti teman-teman.”
“Kenapa harus malu Sayang, kan teman-teman Fandi sudah tahu kalau ayah sangat menyayangi Fandi, ayah tidak bisa berada di samping kita saat ini karena kehendak Allah.” Jelas ibu pada Fandi.
“Tapi, bulan depan, Sekolah mau mengadakan Festival Layang-Layang untuk siswa kelas  Tiga Bu, melibatkan ayah dan ibunya masing-masing.” Fandi akhirnya menjelaskan permasalahan utamanya. Ibunya kini mengerti kegalauan Fandi. Ibu tersenyum.
“Lantas kenapa kamu harus risau? Fandi kan masih punya ibu. Ibu akan menemani Fandi saat Festival nanti” ibu berusaha meyakinkan Fandi.
“Ibu memang bisa menemani Fandi, tapi ibu kan nggak bisa bermain layang-layang. Nanti, saat layang-layang teman-teman Fandi sudah terbang tinggi, layang-layang kita masih belum bisa terbang.” Keluh Fandi sembari menerawang.
“Kata siapa ibu tidak bisa main layang-layang. Ibu jago kok.” Ucap ibu mantap. Tanpa keraguan sedikitpun. “Jadi, jangan takut Fandi akan malu layang-layang kita tidak bisa terbang. Waktu kecil ibu biasa main layang-layang di pematang sawah. Simbah kakung yang mengajari ibu.”
“Sungguh?” Fandi mulai berbinar-binar mendengarnya. “Bukankah itu permainan anak laki-laki bu?” tanya Fandi polos.
“Kata siapa itu permainan laki-laki. Layang-layang, memancing, egrang atau yang lain itu bisa dimainkan siapa saja yang menyukainya. Tidak ada batasan laki-laki atau perempuan. Di kampung ibu dulu, waktu ibu kecil, permainan yang ibu sebutkan tadi memang mayoritas dimainkan anak laki-laki, tapi bukan berarti perempuan tidak boleh memainkannya. Yang tidak boleh dimainkan anak perempuan itu kalau pura-pura jadi laki-laki, begitu pun sebaliknya.” Jelas ibu panjang lebar. Mendengar penjelasan ibu, Fandi semakin girang. Ia nampak sangat senang. Cemberut yang dari tadi menghiasi wajah Fandi menghilang, tergantikan dengan snyuman yang mengembang sempurna.

Hari yang dinanti Fandi dan teman-temannya pun tiba, Festival Layang-layang. Semua guru berkumpul di lapangan. Begitupun seluruh siswa dari kelas satu sampai kelas enam, menjadi penonton. Kali ini lakonnya adalah siswa kelas tiga. Jadi dalam rangka memeriahkan kemerdekaan Indonesia,  Sekolah Fandi mengadakan acara lomba selama satu minggu penuh. Temanya berbeda tiap kelas, kemaren giliran kelas enam membuat roket air, besok kelas lima lomba memasak. Bergilir per kelas, tiap lomba melibatkan orangtua masing-masing siswa.
Kali ini Fandi ditemani  ibu, membawa layang-layang kreasi mereka sendiri, berbentuk kupu-kupu  dengan warna dominan merah, warna favorit Fandi. Layang-layang teman-teman Fandi pun bermacam-macam, ada layang-layang sederhana, layang-layang berbentuk burung, layang-layang bentuk hati, layang-layang bergambar karakter superhero, dan masih banyak yang lainnnya. Awalnya, teman-teman Fandi meremehkannya yang berkolaborasi hanya dengan ibunya. Pikir mereka ibunya tidak mungkin bisa menerbangkan layang-layang. Namun seiring berjalannya lomba, layang-layang Fandi menjadi layang-layang favorit, yang lebih dulu terbang tinggi, bahkan bisa mengalahkan layang-layang lain saat tali saling melilit.

Semakin siang, festival layang-layang semakin semarak, beraneka rupa layang-layang ada di lapangan. Namun tidak banyak yang bertahan. Hanya tersisa tiga layang-layang, yaitu layang-layang kupu-kupu milik Fandi, layang-layang sederhana milik Aisyah dan layang-layang dengan gambar Bis Tayo milik Candra. Tepuk tangan membahana tiap kali mereka adu ketangkasan saling melilit. Yang gugur pertama adalah layang-layang Candra. Perlombaan semakin ramai, merebutkan juara satu, antara layang-layang Aisyah dan layang-layang Fandi. Dan yang mengherankan dari pemandangan ini adalah baik Fandi maupun Aisyah hanya ditemani oleh ibunya. Kebetulan ayah Aisyah sedang sakit, jadi hanya bisa ikut menonton. Tepat pukul satu, layang-layang Aisyah jatuh, sehingga secara otomatis layang-layang Fandi lah yang memenangkan perlombaan ini. Teman-teman Fandi pun memberikan selamat, mereka salut dan kagum pada Fandi dan ibunya. Sejak saat itu, teman-teman Fandi tidak ada lagi yang meledek ataupun mengejek Fandi tidak punya ayah.

#KMCA
#Kelsmenulisceritaanak
Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

Posting Komentar