Tawang Alun, 25 Desember 2009
Bertepatan dengan hari natal bagi kaum Kristen, aku dan teman-temanku eks G38 melakukan tur ke Banyuwangi, mengunjungi tanah orang oseng. Aku yang asli Jawa tengah, Bikang dari Pandaan, Nyi pellet dari Turen dan Mbok girang yang asli Banyuwangi, tempat aku dan teman-temanku numpangJ disana. sebenarnya rencana awal berlima, tapi Ani dari tanah reog, Ponorogo, terpaksa menggagalkan misinya dengan berbagai alasan, dan memang kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh. Sebenarnya aku juga agak bimbang dengan keputusanku berlibur, tapi aku takut mengecewakan teman-temanku, karena sudah kepalang basah berjanji dan mengiyakan bahwa aku bisa. Keraguanku Cuma karena satu hal, uangku mepet, tanggal tua (sebenarnya nggak berpengaruh, secara orang tuaku mentransfer uang bukan berdasarkan tanggal, tak beraturan, sesuai dengan kebutuhanku dan kemampuan mereka). Tapi akhir-akhir ini aku berusaha sehemat mungkin agar rencana menelusuri ujung timur pulau Jawa bisa terealisasi, menyaksikan sisa-sisa kerajaan Blambangan.
Berangkat dari kos G38 sekitar pukul 12.30 menuju statiun kota lama via angkutan umum AL (arjosari-Landungsari). Berdesak-desakan dengan banyak orang dan parahnya ada cowok yang duduk tepat di sampingku dengan aroma yang membuat aku nggak nyaman dan hampir muntah, prediksiku mengatakan bahwa baju yang diapakainya belum kering benar (padahal lagi nggak musim hujan, jarang-jarang banget lah pokoknya hujannya). Tau lah, nikmatin aja perjalanan ini, aku membatin.
Sepanjang perjalanan, pak supir cukup nyantai mengemudikan Angkutan biru yang kami tumpangi, melewati sumber Sari, di perempatan ITN belok kiri melewati Matos yang berdiri megah dan kokoh tapat di muka kampus UM di jalan veteran, kemudian melewati Unmer Pariwisata dan mealui jalan Ijen dengan kisah mistisnya dan boulevard-nya yang asri, sampai di bundaran tugu dan berhenti tepat di bekas warung-warung tenda yang sudah digusur oleh satpol PP, di seberang stasiun. Waktu itu jam di hp ku menunjukkan pukul 13.20. aku dan ketiga temanku segera menghambur ke loket dengan sedikit antrian dan langsung memasuki stasiun setelah tiket kereta sudah kami kantongi.
Kereta yang akan mengantar kami adalah kereta api Tawang Alun tujuan Malang Banyuwangi. Kereta api ekonomi dengan harga yang murah meriah. Dengan hanya membayar 20.000 ribu rupiah, kami dapat menikmati berbagai jenis musik live dari para musisi jalanan. Sekitar pukul 2 siang, akhirnya kereta datang juga, Nyi pellet yang baru pertama kali ini naik kereta kelihatan senang, tegang dan takjub, raut mukanya campur aduk, apalagi kalau menanggapi kekagetan-kekagetan Nyi pellet mengenai kereta, aku berasa sedang momong sepupuku yang baru bisa jalan, lucu, hihihi. Begitu dapat giliran masuk, aku langsung menerobos kerumunan orang di bibir kereta. Aku menemukan seat 3-3, itupun dengan penuh perjuangan dan berusaha segalak mungkin mengatakan kepada para penumpang yang berniat duduk di seat yang akan kami duduki. “maaf pak, ada orangnya, maaf bu ada orangnya!!” teriakku bersemangat. pasalnya, aku dan Nyi pellet lebih dulu memasuki kereta sedangkan bikang dan Mbok girang terdesak bersama kerumunan orang dan tertinggal di belaknag. Huhhh, berhasil juga, dapat tempat duduk, nyaman. aku, Bikang dan Mbok girang duduk sejajar, sedangkan Nyi pellet tepat duduk di haddapanku, bersebelahan dengan orang asing yang juga menuju ke Banyuwangi, lebih tepatnya Rogojampi. Belakangan aku tahu nama anak yang bersamanya adalah Dito, tanpa tahu nama ibunya, J.
Akhirnya di sela-sela hujan yang cukup deras, kereta pelan-pelan meninggalkan kota Malang. Mau tidak mau aku harus menutup jendela, menghindari percikan air hujan. Kereta yang penuh sesak dengan orang mudik semakin panas karena pertukaran udara semakin sedikit, kami berebut oksigen di dalam kereta. Begitu kereta sampai di Lawang dan mulai memasuki Pasuruan, hujan mulai reda, jadi jendela-jendela itu mulai terbuka dan membebaskan udara yang terjebak di dalam kereta.
***
Aku mulai bosan dan suntuk di dalam kereta yang merambat pelan. Ditambah lagi basah keringat yang bercucuran dan kebelet pipis yang menggila semakin menambah kejenuhan dan berasa ingin segera sampai. Makanan yang aku bawa dari Malang pun hanya tersisa bungkusnya, ludes. Berbagai penjaja makanan ringan pun mulai menggoda. Pertahananku untuk hemat jebol, aku dan teman-teman membeli beraneka macam makanan, dari telur puyuh, kerupuk rambak, hingga tahu petis yang semuanya kami habiskan dan tak tersisa.
Kebosanan terlupakan ketika aku menikmati makanan dengan panorama di skitar rel, tapi begitu makanan habis, aku mulai diam dan suntuk lagi. untungnya orang asing yang duduk di sebelah Nyi Pellet membawa serta anaknya yang bernama Dito. Keluguan, keceriaan, kelucuan dan semua hal khas anak-anaknya membuat aku terbahak-bahak dan cukup untuk membunuh kejenuhan yang tercipta. Bahkan perasaan iri ingin menjadi seorang ibu sempat menyusup dan segera kubuang jauh- juah, belum waktunya.
Hari beranjak malam, dan jalanan mulai gelap, aku tak bisa menikmati pemandangan di sekitar rela kereta api. Hanya ada gelap dan bisisng suara kereta yang beradu dengan rel. Kereta melewati pasuruan, Bangil, Probolinggo, Leces, Klakah, Lumajang, jember dan memasuki wilayah Banyuwangi sekitar pukul setengah Sembilan. Tapi stasiun tujuan kami terletak dua terakhir dari stasiun-stasiun yang dilewati Tawang Alun, jadi aku sampai dan turun dari kereta sekitar pukul 9. Hemmmmmmm……………… begitu mnginjakkan kaki dan keluar dari stasiun, aku terkaget-kaget, dalam hitungan jam dan diantarkan oleh sebuah kereta, aku sudah melintasi budaya yang berbeda, bahasa yang mereka gunakan adalah oseng, meskipun sedikit ada aroma Jawa tapi aku tak begitu memahaminya (Padahal ada yang bilang kalau Oseng adalah sebuah dialek jadi bahasanya tetap Jawa. Bahasa jawa dialek Oseng).
Perjalanan selanjutnya adalah perjalanan menuju rumah mbok girang. 3 saudara mbok girang menjemput aku dan rombongan dengan sepeda motor. Karena hanya ada tiga orang yang menjemput, mau tidak mau, harus ada yang dibonceng tiga. Pilihan jatuh ke mbok girang dan Nyi pellet, karena postur tubuhnya yangf lebih kecil dibandingkan aku dan bikang. Dengan bersepeda motor kami Membelah kota Banyuwangi di malam hari, sunyi, sepi, hanya ada sedikit kendaraan yang melintas di jalan.
kalo ada waktu mampir lagi ke banyuwangi. salam kenal. main2 ya ke blog saya....:)
BalasHapusyups... kapan2 maen lagi kalo sempet, salam kenal juga....
BalasHapusteman, kuk blog kamu gak bisa dibuka yaw.... padahal pengen ngintip, :)
BalasHapus