Glagah, Rumah Mbok Girang, 22.00
Keluarga Mbok Girang menyambut kedatangan kami dengan ramah, menyenangkan. Ada Ibu, bapak, Hasma sepupu Mbok gir, dan kakak mbok Gir yang namanya cukup unik mbak Melati Mekar Senja dan putrinya mbak Melati, Lila yang sudah terlelap. Setelah salim kepada mereka semua, aku segera masuk ke kamar mbok gir, merebah. Delapan jam di perjalanan dengan kereta ekonomi cukup untuk membuat badan pegal-pegal. Nyi pellet lebih parah, dia tepar. Sekitar 10 menit merebah, aku dan yang lain memutuskan untuk segera membersihkan diri, ganti pakaian, sholat dan istirahat. Karena ada dua kamar mandi, kami bergantian, nyi pellet dan Bikang dapat giliran pertama, disussul dengan aku.
Kamar mandinya lumayan bersih. Kehangatan keluarga dan kamar mandi yang nyaman adalah dua alasan utama untuk membuat aku nyaman di suatu lokasi yang baru. Udara Glagah panas dan gerah, airnya pun tidak sedingin air Malang. Kuberanikan diri untuk mandi. Byurrr, basuhan air cukup untuk menghilangkan kepenatan selama di perjalanan. Usai mandi perutku berasa bergoyang ria, berirama, untung tidak ada alunan musik dangdut, jadi perutku bergoyang santai. Karena di rumah orang, aku cukup tahu diri untuk tidak meminta makan, meskipun laparku menggila. Aku baru sadar bahwa terakhir makan nasi adalah sekitar 9 jam yang lalu, sebelum berangkat, sekitar jam 12 an, itupun hanya kumakan sebagian. Tak kuhiraukan cacing-cacingku yang meronta, lebih baik sholat Isya dulu dijamak dengan Maghrib yang tadi terlewat di kereta, jamak ta’khir.
Usai sholat aku berencana kembali ke kamar, tapi ternyata aku ditawaarin untuk makan. Alhamdulillah, Allah memberikan apa yang aku butuhkan lewat bakso yang ditawarkan oleh ibu mbok gir. Cihuy, aku makan dengan lahap, kubabat habis, bahkan kuahnya pun tak tersisa. Setelah makan, keluarga Mbok Gir, tepatnya bapak dan ibunya bergabung dengan kami, sedikit bercakap-cakap, dan karena melihat aura letih di wajah kami berempat, mereka mengijinkan kami untuk tidur.
Ranjang kamar mbok gir bisa memuat 4 orang sekaligus dengan posisi horizontal meskipun harus berdesakan, tidak masalah, tapi mbok gir memilih tidur dengan mbak melati mekar senja, entah karena memberikan ruang gerak kepada aku, bikang dan Nyi pellet atau karena ingin melepas rindu, aku tidak tahu.
Karena tidur bersama, aku menawarkan nyi pellet, memilih pinggir atau tengah, dia memilih pinggir dekat jendela, dan aku memilih pinggir dekat pintu, bikang mendapat jatah di tengah. Lampu segera kumatikan agar kualitas tidur lebih baik. Menjelang tengah malam, aroma malam khas pedesaan semakin merasuk di telangaku. Sayup-sayup aku mendengar orang membaca entah mantra entah apa, aku tidak tahu namanya, tapi dengan bahasa oseng. Semakin aku menajamkan pendengaran, aku semakin tahu itu bukan hanya suara orang malantunkan mantra-mantra oseng, tetapi diiringi dengan sejenis musik Jawa, agak mistis. Suara itu cukup mengganngu Nyi pellet. Dengan imajinasi Nyi pellet yang terlalu liar, membayangkan yang aneh-aneh, dari mulai setan hingga jaran kepang, dengan tiba-tiba dia merangsek ke tengah, diantara aku dan bikang, meminta bertukar posisi. Tak bisa kutahan, aku terbahak-bahak karenanya. Tak lama setelah itu, aku sudah pulas dan bahkan lupa mimpi apa yang menemaniku malam itu.
Terlambat Bangun Pagi
Terlambat bangun pagi bagiku sebenarnya bukan hal yang aneh, kebiasaan lama, tapi kali ini parah, meninggalkan sholat subuh, parahnya lagi, aku sedang berada di rumah orang!! Sudah dosa, malu pula. Sebenarnya aku terbiasa bangun antara jam lima menjelang jam setengah enam dan tidur lagi setelah shloat subuh. Tapi pagi ini aku dan yang lain bangun jam7, bayangkan jam7!! Matahari sudah setinggi galah, kalaupun sholat pastinya bukan sholat subuh, tapi dhuha. Haduh, Allah, maafkan hamba, mau tidak mau harus mengqodo’ sholat subuh. Tidak mau malu, aku dan teman-teman mengkambinghitamkan capek. Lima huruf yang cukup ampuh untuk meminta sedikit pengertian dan mengurangi sedikit rasa malu.
Mbok Gir menertawakan kendablekan kami bertiga.tapi sudahlah, apa boleh buat, nasi sudah menajdi bubur, tidak mungkin kan memutar ulang waktu. Kami bertiga keluar kamar, beres-beres, mandi dan makan. Usai semuanya, rencana awal, hari pertama di banyuwangi adalah menuju rumah mba Rima alias mak Erot, tapi melihat kondisi Nyi pellet yang kelelahan, kami menundanya. Hari pertama di Banyuwangi kami isi dengan duduk nyantai di ruag tamu dan bermain dengan Lila, keponakan mbok Gir. Menjelang Siang, di tengah keceriaan dan santai, tiba-tiba kami dikagetkan oleh rombongan orag sekampung Mbok Gir. Ada beberapa remaja putrid yang dirias dengan mengguankan pakaian adat, ibu-ibu yang berdanda menor, da bapak-bapak yang menabuh beberapa alat music, mereka juga memebawa beberapa makananan da nasi tumpeng. Selidik punya selidik ternyata mereka adalah rombongan yag menuju ke balai desa, ada acara grebek desa. Acara adat setempat. Tadinya pengen ke balai desa menyaksikan semuanya, tapi melihat gelengan lemah teman-teman akhirnya aku pasrah juga. Hari pertama di rumah gita kami lalui dengan biasa tapi menyenangkan, ditemani ddenga kevceriaan Lila.
Posting Komentar
Posting Komentar