CintaTak Harus Dengan Bunga

Posting Komentar
aku menapatkan cerita ini dari teman satu ksoku,
Renungan buat para istri, calon istri dan perempuan. untuk semua laki-laki di seluruh pelosok nusantara, cintailah cintamu dengan cara yang terindah...
baca baik-baik dan renungkan yah...!!!

Aku mencintai suamiku karena sifatnya yang semula dan aku begitu menyukai perasaan hangat yang muncul di hati ketika bersandar di bahunya yang bidang. Tiga tahun dalam alam perkenalan, dan dua tahun dalam alam perkawinan, harus aku akui bahwa aku mulai rasa bosan dan lelah dengan kehidupan berumahtangga dengannya dan alasan-alasan mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.

Aku seorang wanita yang berjiwa sentimental dan benar2 sensitif serta berperasaan halus. Aku merindui saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan belaian. Tetapi semua itu tidak lagi aku peroleh. Suamiku jauh berbeda dari apa yang aku harapkan dulu. Rasa sensitifnya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam perkawinan kami telah memusnahkan semua harapan tentang kehidupan cinta yang ideal.

Suatu hari, aku beranikan diri untuk menyatakan keputusan untuk bercerai.
“Mengapa?”, dia bertanya dengan terkejut.

“Aku lelah, kamu tidak pernah memberikan cinta yang aku inginkan”

Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, nampak
seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak. Kekecewaan aku semakin bertambah, seorang lelaki yang tidak dapat mengekspresikan perasa-annya, apalagi yang dapat aku harapkan darinya?

Dan akhirnya dia bertanya,

“Apa yang dapat aku lakukan untuk mengubah fikiranmu?”.

Aku menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan perlahan,

“Aku ada satu pertanyaan, jika kau dapat menemui jawabannya, aku akan mengubah fikiranku: Seandainya, aku menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kau memanjat gunung itu, kau akan mati. Apakah kau akan melakukannya untukku?”

Dia termenung dan akhirnya berkata,

“Aku akan memberikan jawabannya esok.”

Hatiku langsung gundah mendengar reaksinya. Keesokan paginya, suamiku tiada di rumah, dan aku menemui selembar kertas dengan coretan tangannya di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertulis…

“Sayang, aku tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi izinkan aku untuk menjelaskan alasannya.”

Kalimat pertama ini menghancurkan hatiku. Aku lantas terus membacanya. “Sayang, kau biasa menggunakan komputer dan selalu menghadapi masalah kerusakan program di dalamnya dan akhirnya menangis di depan monitor, Aku harus memberikan jari-jariku supaya dapat membantumu dan memperbaiki programnya.”

“Kau selalu lupa membawa kunci rumah ketika keluar rumah, dan aku harus memberikan kakiku supaya dapat menendang pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang.”

“Kamu suka jalan2 ke luar kota tetapi selalu sesat di tempat-tempat baru kamu kunjungi, aku harus menunggu di rumah agar dapat memberikan mataku untuk mengarahkan jalan untukmu.”

“Kamu selalu kelelahan pada waktu ‘teman baikmu’ datang setiap bulan, dan aku harus memberikan tanganku untuk memicit kakimu yang pegal.”

“Kamu seorang yg suka diam di rumah, dan aku selalu khawatir kamu akan menjadi ‘aneh’. Dan aku harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami.”

“Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, aku harus menjaga mataku agar ketika kita tua nanti, aku masih dapat menolong memotong kukumu dan mencabuti ubanmu.”

“Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu menyusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna2 bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu”.

Tetapi sayangku, aku tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, aku tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku.”

“Sayangku, aku tahu, di luar sana ada banyak orang yang mampu mencintaimu lebih dari aku mencintaimu.”

“Untuk itu sayangku, jika semua yang telah kuberikan dengan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu. Aku tidak dapat menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu.”

Air mataku jatuh di atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi aku tetap berusaha untuk membaca selanjutnya…

“Dan sekarang, sayangku, kamu telah selesai membaca jawabanku. Jika kau berpuas hati dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, aku sekarang sedang berdiri di luar pintu menunggu jawabanmu.”


“Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk mengambil barang-barangku, dan aku tidak akan menyusahkan hidupmu. Percayalah, kebahagia-anku adalah apabila kau bahagia.”.

Aku segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah berharap-harap cemas sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku. Oh, kini baru aku tahu, tidak ada orang lain yang pernah mencintaiku lebih dari dia mencintaiku. Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasakan pasangan kita tidak dapat memberikan cinta dalam bentuk yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam bentuk lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Seringkali yang kita perlukan adalah memahami bentuk cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan bentuk tertentu kerana cinta tidak selalu harus berbentuk “bunga”.

Subhanallah, keren kan ceritanya!!
Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

Posting Komentar