Clarina yang Malang

Posting Komentar


"Bau apa ini?" teriak Andin dengan jijik.

"Pasti bau badan si Clarina, siapa lagi kalau bukan dia, sepertinya diantara kita hanya dia seorang yang paling bau," seru Laudya dengan nyinyir.

Beberapa teman lain berkasak kusuk di belakang. Tak enak hati mengkritik secara terang-terangan. Mereka hanya berani menjadi barisan nyinyir di belakang layar. Situasi seperti ini bukan sekali dua kali dirasakan Clarina, terlalu sering.

Karena selalu menjadi bahan olok-olokan, Clarina akhirnya menutup diri dan menjadi pribadi pemurung. Ia seringkali menangis sendirian. Sesenggukan dalam diam. Menatap kosong pada malam yang begitu pekat. Saat yang lain beristirahat.

Clarina tahu kalau dirinya memang bau. Bau badannya amat menyengat. Apalagi pada saat jam olahraga, baunya bisa berkali-kali lipat. Tapi, Clarina sudah menyerah. Ia lelah dan akhirnya mengaku kalah. Memang beginilah kondisinya, dan ia tak kuasa merubahnya.

Kini, tak ada satupun yang mau berteman dengannya, kecuali Jenny Si Baik Hati. Jenny menjadi satu-satunya yang mau menerima Clarina apa adanya. Ia bahkan selalu mau menmberikan punggungnya untuk Clarina berkeluh kesah.

"Sudahlah Clarin, jangan bersedih, masih ada aku yang mau jadi temanmu," ucap Jenny di suatu siang yang terik.

"Tapi aku sedih Jen, aku malu, aku nggak punya teman," kata Clarina masih dengan wajah murungnya.

"Kamu tidak bersalah, ini diluar kendalimu kalau kamu bau," lanjut Jenny.

"Jenny, kenapa kamu masih mau berteman sama aku disaat teman lain mengucilkan?" tanya Clarina menatap Jenny yang selalu nampak tangguh.

"Clarin, Aku tahu kalau kamu baik, lagi pula bukankah kita tidak boleh memilih teman hanya karena alasan seperti itu?"

"Apa kamu tidak terganggu?"

"Tenanglah, aku akan selalu menjadi temanmu, sampai kapan pun."

"Terimakasih Jenny, kamu selalu baik dan manis." Mereka pun tersenyum bersama.

Selang beberapa hari dari percakapan mereka, datanglah teman baru, namanya Laras. Ia sangat cantik dan anggun.

"Selamat datang di dunia kami Laras, semoga kamu kerasan disini," seru Jenny dengan senyum khasnya.

Teman-teman lain pun mengucapkan selamat datang pada Laras, kecuali Clarina.

"Clarin, kenapa kamu tidak menyalami Laras?" tanya Jenny dengan dahi berkerut.

"Aku malu dan takut," jawab Clarina menunduk.

"Kenapa harus seperti itu? Kamu harus percaya diri apapun kondisimu Clarin," seru Jenny sembari mengajak Clarina mendekati Laras. Namun Clarina tetap bergeming.

"Aku malu karena aku bau, aku juga takut setelah ini aku dipensiunkan dan dibuang karena kedatangan Laras," kata Clarina sedih.

"Kenapa harus berpikir seperti itu Clarin, ayolah berpikirlah positif!" Jenny menasehati Clarina.

"Lihatlah Laras yang begitu cantik, gradasi warna tubunya sangat menawan dan elegan, renda merahnya  semakin membuatnya menarik, sedangkan aku? aku hanyalah kaus kaki hitam putih kumal dan bau." Clarina menjelaskan dengan terbata-bata menahan tangis yang hampir saja tumpah.

"Clarin, seandainya kamu berpikir lebih positif, kamu pasti akan lebih tenang bahkan senang, kamu tahu?" sejenak Jenny mengambil nafas, "dulu aku pun hanyalah sepatu dekil yang hampir tiap hari menapaki aspal, tapi semenjak kedatangan teman yang lain, aku jadi lebih terawat dan sesekali beristirahat, bergantian dengan Andin, Laudya atau Luna, sepatu yang baru datang ke dunia kita belakangan ini."

Wajah Clarina berangsur-angsur sumringah, ia senang bukan kepalang. "Apakah maksudmu nanti aku akan lebih terawat karena aku punya teman sesama kaus kaki?" tanya Clarina berbunga-bunga.

"Tepat seperti itu, bahkan nantinya kamu bisa lebih sering diajak mandi, jadi kamu tidak bau."

Kini senyum Clarina mengembang, membayangkan dirinya bertabur busa sabun yang wangi dan segar. Mereka berdua pun mendekati Laras dan berkenalan. 
Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

Posting Komentar