Matahari
bersinar terik, udara panas dan membuat gerah. “Panas sekali hari ini ya Ma,”
kata Fatih sembari memperhatikan barisan motor di parkiran. Ia sedang menunggu
ayahnya yang tak kunjung datang untuk menjemput. Ayahnya berjanji akan
menjemput mereka sepulang sholat Jum’at di masjid. Tapi sampai jam satu siang lebih
mereka masih setia menanti, duduk di gazeboo halaman Perpustakaan Kabupaten.
“Fatih
lapar Ma, ayah kemana sih kok nggak datang-datang,” gerutu Fatih
yang mulai tidak sabar. “Fatih lapar ya, kita beli somay saja dulu ya,
sepertinya ada somay yang mangkal di seberang jalan. Ayo lets go,” seru mama sembari
menggandeng tangan Fatih, menuju bapak penjual somay. Fatih dan mama memesan
dua porsi somay, yang pedas untuk mama, yang manis untuk Fatih. Setelahnya
mereka kembali ke halaman depan Perpustakaan, memakan somay yang dibungkus plastik
di gazebo. Usai makan Fatih membuang sampah plastiknya ke tong sampah.
“Alhamdulillah Ma, Fatih lumayan kenyang,” kata Fatih sambil memegang perutnya.”Syukur
lah kalau begitu, Allah masih sayang sama Fatih,” kata mama, sengaja menekankan
peran Allah yang Maha Penyayang.
“Ayah
masih lama ya Ma?” tanya Fatih yang sepertinya mulai benar-benar bosan
menunggu. “Mama tidak tahu Nak, dari tadi Mama sudah mengirimkan pesan WA, tapi
belum dibaca, telepon juga tidak diangkat,” Mama menjelaskan pada Fatih. “Kalau
begitu, sambil menunggu ayah, Fatih boleh ya main di halaman, banyak sekali
burung disana,” bujuk Fatih sembari menunjuk segerombolan burung gereja yang lompat
dan terbang rendah, mencari bebijian yang jatuh dari pepohonan di halaman
perpustakaan. “Boleh dong Sayang,” ucap Mama dengan senyumannya yang mengembang.
“Horeeeee, terimakasih Ma,” seru Fatih yang segera berlari berusaha menangkap
burung-burung yang sedang mematuki bebijian di halaman.
Para
burung yang terkejut dengan kedatangan Fatih segera terbang, mencari aman. Fatih
terus saja mengejar tiap ada burung yang terbang rendah. Ia berlarian kesana
kemari, tidak lagi peduli dengan sengatan matahari yang sangat garang. Saat sampai
di pojok pos keamanan, Fatih mendapati seekor burung yang mati. Burung itu
dikerumuni oleh semut, bulu-bulu sayapnya sudah mulai ambrol, tapi tidak
berbau. Mungkin baru hari ini mati.
Fatih
yang melihat burung mati tersebut segera memanggil mamanya, “Sini ma, sini.”
Mamanya pun mendatangi Fatih. “Kenapa Sayang?” tanya Mama pada Fatih.”Lihat Ma,
ada burung mati disini, kasihan sekali,” ucap Fatih dengan raut muka sedih. Mama
yang melihat mimik muka Fatih justru menjadi geli, tapi tetap menahan diri agar
tidak tertawa. “Iya ya Nak, kasihan sekali,” ucap Mama dengan berusaha maksimal
memasang muka sedih. “Kita bawa pulang yuk Ma,” seru Fatih dengan
memelas. Mama yang mendengar ide Fatih terkejut. ”Loh, bawa pulang untuk apa Nak?”
tanya Mama. “Dikubur di halaman rumah, kasihan sekali. Burung kan juga
ciptaan Allah. Kalau dibiarkan seperti ini nanti habis dimakan semut,” ucap
Fatih sembari memohon. Mamanya bingung untuk menolak. “Tapi semut juga ciptaan
Allah yang butuh untuk makan,” kata Mama berusaha menggagalkan ide Fatih. “Ada
banyak makanan yang bisa dimakan semut Ma, bisanya semut juga makas remahan
roti,” jawab Fatih cerdas. “Bagaimana caranya membawa pulang Nak? Kita tidak
membawa plastik kresek,” jawab Mama mulai asal-asalan. “Fatih tahu caranya Ma,”
seru Fatih dan segera berlari menuju tong sampah. Fatih mengambil plastik kresek
bekas membungkus dua porsi somay miliknya tadi.
Mamanya
yang melihat tingkah polos Fatih tersenyum, antara senang dengan kepedulian Fatih
yang sangat tinggi dan sedih membayangkan harus membawa bangkai burung ke
rumah. Fatih memasukkan bangkai burung tersebut ke dalam plastik, menyeroknya
dengan dedaunan kering sehingga tangannya tetap tidak menyentuh bangkai burung
tersebut. Mamanya hanya menelan ludah melihatnya, agak jijik namun tetap
mebiarkannya. Mamanya tidak ingin menghilangkan rasa kepedulian Fatih hanya
karena salah menanggapi.
“Ma,
Fat, ayo pulang,” Panggil ayah dari kejauhan. Rupanya ayah Fatih sudah datang.
Ayah duduk di kusi gazebo, menggunakan kaos oblong santai. Mama yang melihatnya
ayah menggunakan kaos oblong heran, karena tadi saat mengantarkan mama dan
Fatih, ayah sudah rapi menggunakan baju koko.”Pantas saja lama, pasti pulang
dulu ke rumah,” bisik mama pada diri sendiri. ”Sebentar Yah,” jawab Fatih tak
kalah lantang. Ayah pun mendatangi mereka, melihat apa yang sedang dilakuakan
mama dan Fatih.
“Lihat
Yah, Fatih menemukan burung mati, dan dia berencana membawanya pulang untuk
dikuburkan,” lapor Mama pada ayah. Ayah yang mendengarnya takjub, “Mulia sekali
hati anak ayah nih,” ucap ayah sembari mengelus rambut Fatih. “Fatih
tahu? Kenapa Ayah terlambat menjemput kalian?” tanya ayah tanpa merasa
bersalah. Mama yang sebal dengan keterlambatan ayah hanya manyun. Fatih
menggeleng tanda tidak tahu.
“Jadi,
sepulang sholat tadi, saat menuju kesini, ayah menemukan kucing mati di jalan,
berceceran darah,” kata ayah, “sepertinya habis ditabrak truk dan ditinggal
begitu saja, badannya sampai gepeng.” “Lalu hubungannya dengan Ayah terlambat
apa dong?” tanya Mama dengan polos. “Ayah menyelamatkannya, membawanya
pulang dan menguburkannya, persis apa
yang dilakukan Fatih saat ini,” papar ayah menjelaskan. “Wah, ayah hebat, ayah
baik sekali, karena kucing juga ciptaan Allah ya yah, jadi harus diperlakukan
dengan baik, mati pun harus dikubur, sama seperti burung ini,” seru Fatih yang
merasa mempunyai kesamaan dengan ayahnya. “Tos dulu sini,” kata ayah sembari
menempelkan tangannya dengan tanga Fatih.
“Kita
adalah keluarga penyayang binatang, perlakukan binatang dengan baik, karena
mereka pun ciptaan Allah, lagipula jika binatang mati dan dibiarkan begitu saja
pasti akan bau, betul kan ma?” kata ayah sembari mengerling pada mama yang
hanya diam saja melihat tingkah Fatih dan ayahnya. “Iya, ya sudah ayo kita
pulang,” ajak mama pada ayah dan Fatih. “Kita kubur dulu saja burungnya disini,
sepertinya ada tanah kosong di bawah pohon itu,” ayah menunjuk pohon rindang di
sebelah parkiran motor. “Dengan apa kita menaggali tanahnya Yah?” tanya Fatih. “Dengan
ini,” jawab ayah sambil menunjukkan potongan kayu yang ayah temukan di sebelah
pos keamanan. “Oke, lets go,” seru Fatih kegirangan.
Ayah
menggali lubang di bawah pohon, lubangnya tidak terlalu dalam karena alat yang
digunakan seadanya, lagipula burungnya pun kecil. Mama hanya melihatnya dari
jauh, menunggui Fatih dan ayah di gazebo. Usai mengubur burung, Fatih dan ayah
mencuci tangan di toilet perpustakaan. Mereka akhirnya pulang ke rumah saat matahari
sudah tidak begitu terik, menjelang waktu Ashar.
#30daysemakmendongeng
Posting Komentar
Posting Komentar