Sahur Terakhir Bersama Ibu

Posting Komentar

Hai, perkenalkan namaku Fatima. Usiaku saat ini 15 tahun dan duduk di bangku kelas IX SMP Islam di kota kecamatan. Aku tinggal berdua dengan ayah. Kalian tahu? Saat Ramadhan tiba, orang lain akan mengingatnya dengan bulan yang penuh rahmat, bulan penuh berkah dan bulan penuh maghfirah. Tapi bagiku bulan Ramadhan adalah bulan kehilangan terbesar dalam hidupku. Aku menjadi sangat sentimentil di bulan ini. Apalagi ketika datang waktu sahur, maka yang terlintas di pikiranku adalah sosok ibu. Ibu yang selalu aku rindukan tapi hadirnya kembali disini hanyalah khayalan.

Ibuku sudah meninggal lima tahun lalu, saat Ramadhan. Waktu itu, ibu masih menyiapkan sahur, tiba-tiba ibu bilang dadanya sesak. Aku yang masih mengantuk dan berjalan ke kamar mandi tidak begitu peduli, pun ayah yang masih asik dengan tasbihnya di ruang sholat. Saat kembali dari kemar mandi, aku terheran-heran melihat ibu ketiduran di kursi makan. Apalagi mendapati belum ada makanan tersaji, baru ada beberapa potong tempe yang belum digoreng.



Hampir saja aku mengomel karena pengeras suara di masjid mengabarkan waktu sahur kutang 10 menit lagi. Aku takut tertinggal sahur karena ibu belum menyiapkan apapun. Tapi urung, aku menjerit histeris ketika aku berusaha membangunkan ibu dan badan ibu sudah dingin, berkali-kali kugoyang badan ibu, tapi nihil tak ada reaksi. Ayah yang mendengar teriakanku menyudahi wiridnya.

"Ada apa Fat?"
"Ibu Yah, ibu, ibu Yah, ibu," aku tergeragap tak mampu mengucap kata itu. Badanku menggigil. Air mataku menderas. Ayah menghampiriku dan seketika terduduk lemas, wajahnya pias, berungkali bibirnya mengucap kalimat thoyyibah, innna lillah, inna lillah. Dengan menyisakan sedikit harapan, ayah membopong ibu ke kasur, menelpon bidan desa.

Aku tak sabar menanti bidan desa, sudah berkali-kali aku membaca surat Alfatihah di samping ibu, tapi bidan desa belum juga datang. Baru saat adzan subuh berkumandang, pintu rumah diketuk. Ayah sesegera mungkin membukakan pintu, menceritakan kejadian dengan singkat. Bu bidan langsung menuju kasur dimana ibu terbaring kaku. Aku harap-harap cemas menanti hasil pemeriksaannya. Untuk pertama kali aku berdoa dengan sungguh-sungguh di dalam hati, sesenggukan tanpa suara.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Ibu sudah tiada Pak, maafkan saya tidak bisa menolong," ucap bidan desa dengan ekspresi penuh simpati. Aku menjerit dan menangis sejadi-jadinya. Ayah berusaha menenangkan aku, berusaha tegar menerima kenyataan. Air matanya menggenang. Tapi aku tak peduli, aku merasa akulah orang yang paling menderita ditinggal ibu. Padahal mungkin justru ayah lah yang meraskaan kehilangan paling dalam.

Semenjak itu, Ramadhan menjadi bulan kenangan, terutama saat sahur, tak pernah sekalipun absen untuk mendoakan ibu dan mengirimkan hadiah Fatihah, semoga ibu bahagia di alam sana. Karena doa adalah cara terbaik untuk mengenang, berbakti dan membahagiakan ibu.

Lantas bagaimana dengan ayah? Ayah adalah orang paling setia yang aku kenal. Meskipun saudara dan tetangga menyarankan ayah untuk menikah lagi, ayah memilih melajang. Menghabiskan masa tuanya untuk membesarkanku. Kadang tanpa disadari, saat sedang sahur berdua ayah tiba-tiba berceloteh sembari menerawang, "seandainya ibumu masih ada, pasti ibumu bangga sekali melihatmu tumbuh matang seperti ini Fat."

"Kalau ibu masih ada, Ayah tidak akan pernah bisa masak seenak ini Yah, masakan Ayah top markotop," kataku berusaha mencairkan suasana hati ayah yang sedang sendu. Setelahnya? Aku sesenggukan seorang diri di kamar. Sudah lima tahun berlalu, dan ayah belum move on. Cinta ayah untuk ibu teramat dalam. Semoga kalian bisa berkumpul kembali di surgaNya kelak, amin.
Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

Posting Komentar