Titipan Allah Part 1

1 komentar
Hampir tiap perempuan normal pasti memimpikan untuk menjadi ibu. Terlebih jika sudah menikah terhitung tahun, kehadiran anak menjadi doa yang terus diulang di tiap waktu dan kesempatan.

Alhamdulillah, 8 bulan menikah Allah menitipkan janin mungil di rahim yang secara perhitungan sudah memasuki usia dua bulan. Drama pagi pun mulai terasa, mual dan malas makan karena perut terasa penuh dan kembung terus-terusan. Susu hamil pun rasanya tak kuasa masuk ke perut, padahal aku adalah penikmat susu dan berbagai jenis olahannya. Bersyukur perut ini masih bisa menerima beraneka buah segar untuk menjadi asupan. Ya Rabbi, begini tho rasanya, haru biru trimester pertama. Ditambah hormon tidak stabil dan jauh dari suami, bisa tiba-tiba melankolis tingkat dewa. Untungnya suami tipe yang sabar menghadapi istri tercintanya yang kadang manjanya tiada tara dan uring-uringannya bisa datang kapan saja.
Setelah trimester pertama terlewat, selera kembali normal, hanya saja kepala yang tiba-tiba pusing tidak jelas mulai melanda. Solusinya adalah berhenti beraktivitas sejenak. Barulah di trimester ketiga aku sangat doyan makan. Meskipun demikian, aku tetap menjaga makanan yang masuk. Kupastikan semuanya halal dan thoyyib. Thoyyib dalam artian yang bergizi, menghindari junk food, dan mengurangi micin. Di akhir-akhir kehamilan keluhan yang paling dahsyat adalah punggung yang sakitnya aduhai, ditambah nyeri perut amat sangat menyiksa jika salah gerak sedikit saja. Tapi semuanya kunikmati dengan penuh suka cita. Memyambut buah hati pertama. Doa kulangitkan hampir tiap waktu, mininal di lima waktu sholat fardhu. Lantunan ayat quran menjadi dzikir harian hingga menjelang kelahiran.

Hari perkiraan lahir waktu itu di akhir November. Sebenarnya ada perbedaan perhitungan antara bidan dan dokter kandungan mengenai hal ini. Tapi aku tidak ambil pusing, ambil jalan tengah. Aku mulai cuti dari pekerjaanku di awal bulan, antisipasi jika ternyata bayiku sudah tidak sabar ingin melihat dunia dan mengenal bundanya lebih cepat. Dan benar saja, dua minggu libur di rumah, menanti kelahiran bayi pertamaku, gelombang cinta itu datang bertubi-tubi. Malam hari perutku terasa sakit. Awalnya aku kira hanyalah gerakan kontraksi biasa. Ternyata sinyal yang dikirim janin makin kuat, tapi aku abaikan dan kupaksakan tidur.

Sebenarnya tidur pun tak bisa lelap, karena sembari menahan untaian cinta dari janin yang ada di perutku. Pinggang dan punggung juga terasa akan lepas dari posisinya. Lendir darah mulai terlihat subuh saat hendak menunaikan sholat. Saat itu juga aku menghubungi suami tersayang yang berjarak ratusan kilometer.  Suami segera mencari armada yang akan mengantarkannya pulang. Setelahnya aku tak tahu lagi kabar darinya karena aku tak lagi membuka hape. Perutku semakin nyeri. Beberapa kali aku muntah karena mual tak tertahankan. Aku masih belum mantap dengan sinyal ini, sehingga aku ceritakan semuanya ke ibu, memantapkan hati. Mendengar laporanku ibuku sigap, karena memang ibu sudah berpengalaman melahirkan lima anak dan menunggui dua cucunya lahir ke dunia.

Sekitar jam sembilan pagi, bidan desa datang untuk memeriksa kondisiku. Dari pengecekan ternyata baru pembukaan 3 sehingga belum dihimbau untuk berangkat ke rumah sakit yang kupililh untuk tempatku melahirkan. Tapi terlebih dulu bu bidan membantu memesankan kamar sesuai kelas yang aku inginkan.

Saat menjelang dhuhur barulah kontraksi itu semakin menjadi-jadi. Ritmenya makin teratur. Melihatku yang nyengir kuda dengan berbagai rasa, ibuku memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Dan wuz, setengah jam kemudian kami sampai di lokasi.

Di rumah sakit, diketahui ternyata baru pembukaan 4. Aku bersyukur mendengarnya. Berarti ada perkembangan dibanding tadi pagi. "Sabar ya sayang, kita berjuang bersama, bunda sudah pengen ketemu," lirihku dalam hati, mengajak anakku bercengkrama sembari terus berdoa memohon pertolongan dariNya. Dalam penantian pembukaan yang belum kunjung sempura, gelombang cinta itu datang bertubi-tubi, nikmatnya luar biasa. Dan karena perkembangan pembukaan yang lamban, dokter kandungan yang menanganiku menyarankan untuk menyuntikku dengan perangsang kontraksi. Tentunya dengan persetujuan keluargaku. Waktu itu ilmuku tentang persalinan normal, gentle birth dan atau amani birth belum begitu banyak. Jadi apapun saran dokter kami iyakan. Apalagi dalam kondisi cemas dan panik, maka kami menganggap dokter dan bidan lah yang lebih tahu tentang urusan ini.


Usai penyunytikan, tanpa dikomando aku mengejan lebih sering dan justru para bidan yang menemaniku memarahiku, "belum saatnya mengejan bu, belum sempurna, nanti tenaganya malah habis." Padahal itu adalah bentuk reflek dari gelombang cinta yang datang. Rasanya waktu itu ingin sekali memarahi balik ke para bidan, tapi tentu saja aku menahannya. Dan benar saja, sekitar jam setengah empat pembukaan berangsur-angsur mendekati sempurna, tapi energiku sudah lebih dulu habis. apalagi sedari pagi aku belum makan nasi, ditambah beberapa kali muntah. Aku hampir menyerah. Namun ibuku yang terus mendampingiku menguatkanku. Untuk menambah energi aku diharuskan minum teh satu gelas dan satu buah pisang. Alhamdulillah dengan terpaksa aku menghabiskan satu buah pisang dan sedikit teh manis. Tenagaku berangsur-angsur kembali.

Pembukaanpun sempurna dan aku terus mengejan. Sayangnya mengejan melahirkan tidaklah semudah mengejan saat pup. Ada tekniknya yaitu harus satu kali tarikan panjang. Hampir satu jam aku berjuang. di tengah perjuangan itu aku tersadar harus mengihlaskan ayahnya tidak membersamaiku disini. Aku menyampaikan ke ibu untuk menghubungi suamiku. pesanku waktu itu ke suami, "tolong ikhlaskan dedek bayi lahir ya tanpa ayah disini, agar semuanya lebih mudah". pesan itu terkirim ke suami melalui hape mbakku. Barulah setelahnya semua terasa lebih mudah. Dengan mengucap bismillah dan sholawat, satu tarikan nafas aku mengejan dan suara tangis itu kudengar. Tangis pertama yang mengantarkanku menajdi ibu. Ibuku dengan sigap membawa adek keluar untuk diadzani di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri oleh mbahkungnya. Setelahnya aku bisa memeluknya saat proses inisiasi menyusui dini (IMD).

Rasa sakit yang tadi begitu kuat menerpa hilang begitu saja saat bisa memeluk bayi yang nantinya akan memanggilku bunda. Berkali-kali syukur aku panjatkan, betapa Allah sangat sempurna dengan ciptaannya. Buah hati pertamaku lahir dengan berat 3.0 Kg dan panjang badan 50 cm, tepat jam lima sore. Maka nikmat tuhanmu yang mana lagi kah yang engkau dustakan.
Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

1 komentar

Posting Komentar