Rona Hati 2

Posting Komentar
Jam dinding di dapur staf kantor ini seolah mengejekkku. Aku hampir mati bosan tapi jam kerja masih satu jam lagi. Entah karena tugaslu yang terlalu ringan atau karena aku yang gesit, semua pekerjaan sudah kusesaikan dengan rapi.

Aku masuk jam tujuh pagi dan pulang saat jam menunjukkan pukul tiga. Tujuh jam per hari dan enam hari per minggu. Aku baru tahu ternyata jam kerja normal masyarakat Indonesia hanya 40 jam per minggu. Itu sudah diatur di perundangan kata ibu HRD yang memberikan orientasi karyawan baru.


Karena dalam satu minggu aku masuk enam hari dengan tujuh jam per hari, maka ada kelebihan dua jam per minggunya. Masih kata ibu HRD, kelebihan jam ku akan menjadi lembur otomatis dan ada kompensasi tambahan di luar gaji yang ditentukan. Aku senang sekali mendengarnya. Artinya ada tambahan uang yang akan masuk rekeningku.

Sebenarnya aku tak pernah memimpikan pekerjaan ini. Mana ada orang bercita-cita jadi OG, tukang bersih-bersih. Aku rasa tak ada. Mimpi wajarnya digantungkan setinggi langit. Jadi presiden, menteri, dokter, pilot, polisi, artis atau apapun yang mentereng.

Mimpiku dulu adalah mimpi anak desa, yang hanya tahu beberapa profesi populer. Aku ingin sekali menjadi guru. Meski beberapa teman menyebutkan ingin menjadi dokter, tak pernah sekalipun aku memimpikannya. Bukan karena aku tahu itu mustahil bagiku. Lebih karena aku takut dengan darah.

Nyatanya, saat SMA aku baru sadar aku suka sekali menggambar. Gambar apapun. Berawal dari berjibaku dengan majalah dinding sekolah. Bakatku di grafis terkuak. Aku mulai suka membuat vignet, doodleart, handlettering, karikatur. Menyenangkannya, banyak yang memuji hasil karyaku. Dari sanalah aku mulai merubah mimpiku dan memetakan garis hidupku ke depan.

Karena terkendala ekonomi maka mimpiku harus kutunda. Aku terlebih dulu bekerja untuk bisa kuliah di jurusan yang kuinginkan. Menyisihkan sedikit demi sedikit pundi-pundi rupiah dari hasil keringatku sendiri.

Menggantungkan diri pada orangtua sangatlah tidak mungkin. Selain mereka sudah sepuh, penghasilan mereka sangatlah di bawah rata-rata. Bapak adalah buruh tani, yang pendapatannya sangat tidak menentu. Simak hanyalah tukang cuci yang menjajakan tenaganya dari rumah ke rumah. Bisa sekolah sampai SMA saja aku sudah sangat bersyukur. Benar-benar nikmat Allah yang tiada terkira.

Menjadi OG adalah profesiku yang kedua. Trpat setelah lulus SMA aku bekerja menjadi kasir di salah satu swalayan yang tersebar di hampir tiap kecamatan. Berstatus karyawan kontrak, aku menikmati pekerjaab itu. Gaji yang tidak seberapa itu aku sisihkan sebaguan untuk tujuan jangak panjangku. Sebagian lagi untuk kehidupan sehari-hari dan tak lupa meskipun sedikit, jatah untuk orangtua adalah wajib, fardhu ain.

Aku masih ingat betul, saat gaji pertama hampir semuanya aku serahkan ke bapak dan simak. aku hanya menyisihkan untuk kebutuhanku satu bukan ke depan. Mereka menangis, terisak dalam diam, berkali-kali mengucap hamdalah dan barakallah, mendoakan keberkahan untukku. Aku yang melihatnya sangat terharu. Betapa mereka sangat tulus.

Lantas kenapa akhirnya aku memutuskan risain dan memilih menjadi tukang bersih-bersih? Tentunya aku punya alasan di balik keputusan itu.

Bersambung
Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

Posting Komentar