Rona Hati

1 komentar
Gubrak.
Suara orang menggebrak meja. Aku mengkeret di pojok ruangan. Padahal aku tidak terlibat dalam percecokan itu, maksudku dalam perdebatan itu. Aku ada di ruangan yang berbeda, berbatas dinding, tapi suara menggelegar barusan ternyata menyiutkan nyaliku.

Ini bukanlah kali pertama aku mendengarnya. Mungkin sudah dua kali dalam minggu ini. Aku menegarkan hati. Bersiap apapun yang akan terjadi. Bagaimanapun keadaannya di dalam sana, aku tetap harus masuk. Menawarkan minuman dan menyiapkannya.

Dengan gemetar kubuka pintu, masuk. Aku berusaha bersikap tenang. Aku khawatir mereka bisa mendengar degup jantungku yang berdenyut lebih cepat dari biasanya.

"Bapak mau minum apa? Teh atau kopi?" Tawarku pada bapak botak dengan kemeja merah marunnya. Aku baru sadar suaraku parau, gemetar menahan takut.

"Saya teh saja ya mbak, nggak usah dikasih gula," jawabnya sopan.

"Baik Pak," ucapku pendek.

Aku mengelilingi meja bundar dengan lima orang melingkar. Menawarkan mereka minuman yang mereka mau.

Aku sebenarnya heran, tiap kali aku masuk mereka memperlakukanku dengan sangat baik. Tapi jika kudengar perdebatan mereka, nyaris jantungku terlepas karena mereka masing-masing mempertahankan ide nya dengan cara yang sengit. Bahkan yang lebih mengherankan, biasanya mereka keluar ruangan dengan sangat akrab.

Saat menyiapkan minuman sekali lagi kudengar suara orang marah-marah. Tidak ada bahasa kasar yang terucap, hanya saja intonasinya sangat tidak enak untuk ukuran telingaku yang terbiasa dengan unggah-ungguh Jawa, serba halus dan sopan.

Sekali lagi aku harus menyiapkan diri jika nanti harus terkena imbas saat masuk ke ruangan membawakan minuman. Syukurnya, aku bisa mengingat detail pesanan mereka dengan sangat baik. Bapak botak yang memimpin rapat meminta teh tanpa gula, bapak muda nan ganteng mempesona meminta kopi hitam pekat dengan gula jawa, dua bapak usia 40an  meminta teh dengan gula khusus yang memang sudah disediakan di kantor ini, satu ibu di pertengahan 30an meminta air putih.

Saat membuka pintu, mereka semua menatapku, kecuali satu ibu yang presentasi di depan dengan memegang pointer. Aku meletakkan minuman sesuai pesanan. Setelahnya aku beranjak keluar.

"Terimakasih Mbak," ucap bapak muda nan ganteng dengan senyum amat menawan.

"Eh, iya Pak sama-sama," jawabku gugup sembari gemetar menutup pintu.

Aku menghembuskan nafas panjang setelah sampai di dapur. Huhhh.

"Baru dua minggu kerja disini sudah sport jantung," ceracauku monolog.

"Emangnya kenapa?" tanya Ratna teman seprofesi, yang tiba-tiba muncul dari arah belakang.

"Kamu ngagetin aja si Rat," omelku.

"Emang sport jantung kenapa? Kepo nih."

"Tadi di ruang rapat suaranya pada keras-keras banget, ada nggebrak meja segala."

"Itu mah sudah biasa, tapi aslinya mereka itu baik lho, cuma pas rapat aja kek gitunya," kata Ratna membela para petinggi kantor ini.

"Masak sih?"

"Emangnya kamu tadi diperlakukan kurang sopan? enggak tho," 

"Hmm, iya sih malah mereka sopan banget sama aku yang cuma office girl gini."

"Itulah istimewanya mereka."

"Tetap aja aku takut pas mau masuk ruangan tadi," belaku.

"Lagian mereka itu sebentrok apapun di dalam ruangan, kalau Pak Aji sudah memutuskan nggak ada yang akan membantah, semua akan patuh dan tunduk."

"Ya iya lah Rat, wong yang ngomong ownernya."

"Bukan cuma owner Cha, pak Aji itu ya owner ya ayah mereka juga," kata Ratna sembari keluar ruangan membawa kain pel dan ember.

"Eh, maksudmu pie Rat?" tanyaku penasaran tapi sayang Ratna tak menjawab san berlalu. Menyisakan berbagai tanya di benak.

Bersambung

#TantanganOdop2
#Fiksi
#Onedayonepost
#OdopBatch6
Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

1 komentar

Posting Komentar