Bermain di Alam Terbuka (Part 1)

Posting Komentar
Weekend adalah hari yang paling kutunggu dalam sepekan. Bukan karena tidak mencintai pekerjaan, tapi karena saat weekend aku bisa full membersamai duo sholih, Agha dam Affan. Menjadi quality time kami yang cukup efektif. 

Minggu ini agenda kami adalah dolan ke kebonan, belajar dari alam. Tidak jauh dari rumah, berjarak sekitar empat rumah, kami bisa menemukan sungai kecil yang beriak kecil dan jernih. Di sebelahnya ada persawahan dan kebun milik tetangga yang masih rimbun. Beberapa tumbuhan liar masih tumbuh disini. Kupu-kupu, kadal,  kodok, ulat juga bisa ditemui. Jika beruntung kami masih bisa menikmati kicauan burung yang singgah di dahan-dahan pohon. Ini adalah salah satu keuntungan hidup di desa, belajar dari alam secara gratis.



Setelah Affan lelap, aku dan Agha beriringan menuju ke kebun dan persawahan. Selama berjalan, Agha dengan riang bertanya beraneka rupa hal yangvkadang membuat dahi berkerut atau mulit mengerucut. Ah ya, usianya hampir tiga tahan dan ketajaman berpikirnya mulai berkembang, semakin kritis.

Aku ingat, minggu lalu ia menanyakan tentang pebedaan perempuan dan laki-laki.

"Nda, kalau cowok kan punyanya tit*t, kalau cewek punyanya apa?" tanya Agha sembari mngeringkan badan usia mandi sore.

Aku termenung sejenak. Bertanya pada diri sendiri, apakah ini sudah tepat menjelaskan perbedaan jenis kelamin pada Agha.

"Agha, Adek, Mbah Kung, Mas Avis, Mas Asva cowok kan? Unda, Bude, Mbah ibu cewek ya?" tanya Agha lagi dengan mukut mungilnya.

"Iya, kalau cowok punya nya tit*t, kalau cewek punya nya me*e*," kataku tanpa menutupi.

Aku sengaja membiarkan Agha tahu. Jika memang Agha sudah bertanya artinya sudah waktunya secara pelan menjelaskan terkait perbedaan jenis kelamin. Mungkin ini sebagai langkah awal pendidikan sex untuk usia balita.

Saat ini Agha memang ada pasa fase fukl of questions. Menjadi tugas kami, orang-ktang dewasa di sekelilingnya menjawab dan mengarahkan secara benar agar tidak memnunuh fitrah belajarnya.

Perjalanan kami akhirnya sampai di kebun. Selanjutnya kami menyebrangi sungai kecil yang jernih untuk sampai di sawah. Aku sengaja tidak membantunya, namun tetap dalam pengawasan. Kubiarkan ia berjalan sendiri di antara bebatuan kecil dan digempur riak air yang mengalir. Agha sesekali terpeleset. Namun ia bangkit kembali tanoa menyerah. Aku memberikan sugesti positif bahwa Agha bisa melewatinya.

Berhasil melewati tantangan menyebrang sungai kecil, kami melanjutkan tantangan dengan berjalan di pematang. Sembari berjalan, Agha takjub melihat bebek berkerumun, berenang di sawah yang telah selesai dipanen.

"Unda, bebeknya makan apa itu?" tanya Agha penasaran.

"Owh, itu bebeknya makan keong sawah, dan juga cacing-cacing yang ada di lumpur."

"Owh, biar kenyang ya." kata Agha sembari meluaskan pandangan ke penjury arah.

"Itu ngapain Nda?" Agha menunjuk seorang ibu paruh baya yang membunyikan kaleng-kaleng bekas biskuit dengan taki-tali menjur di atas hamparan padi.

"Owh, itu lagi ngusir burung emprit, kalau nggak diusir nanti padinya habis dimakan sama burung, pak tani nya nanti sedih, nggak bisa panen padi."

"Owh, padi itu yang nanti jadi beras terus dimasak jadi nasi dan dimakan Agha ya Nda?" tanya Agha retoris.

"Yup, Mas Agha makin pinter nih, hebat."

Kami pun kembali ke kebun setelah matahari semakin garang menyengat. Agha nampak senang sekali. Di kebun Agha mencari tanaman putri malu yang oernah ditemuinya di ekbun Mbah Akung.

Bersambung
Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

Posting Komentar