Gagal Mengendalikan Emosi

Posting Komentar
Aku beristighfar berkali-kali. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullahaladzim. Beribu sesal menumpuk di dada. Seharusnya aku bisa lebih sabar menghadapi Agha, putra pertamaku. Karena bagaimanapun juga, ia tetaplah anak kecil, meski berstatus mas / kakak.

Sebenarnya memang beberapa hari terakhir ulah Agha cukup menguras hati dan emosi saat Affan menjelang tidur. Bedanya malam-malam sebelumnya, aku masih bisa meredam dan mengalihkannya. Malam ini entah kenapa, aku sangat marah padanya.

Sekitar Isya' awal, Affan menangis karena mengantuk. Aku pun mengajaknya ke kamar. Seperti biasa Agha pasti membuntut ke kamar. Sebelumnya aku sudah menawarinya untuk main di luar dulu nanti kususul setelah Affan tidur. Tapi Agha menolak dan meminta ikut. Aku mengijinkannya, apalagi memang kondisi saat itu hanya ada kami bertiga di rumah: aku, Agha dan Affan. Aku pikir kasian kalau Agha harus main sendirian di luar kamar.

Sebelum memulai meng-ASI-hi Affan, aku memastikan dan mewanti-wanti ke Agha untuk tenang dan tidak usil.

"Agha kalau ngomong yang pelan ya, adek mau bobok," kataku pada Agha.

"Adek jangan bobok, main sama Agha," larang Agha sembari menarik kaki Affan.

"Mas, nggak boleh narik kaki adek kek gitu, kalau Adeknya sakit gimana?"

" Adek jangan bobok," ucap Agha sekali lagi.

Aku pun memulai memberikan asi ke Affan. Agha yang tadinya duduk, ikut berpindah dan merebah di samping Affan. Tangan Agha mulai asik dan usil memeluk, menjawil, bahkan menggigit tangan Affan. Karena sakit, Affan menangis.

"Gha, kalau adek bobok kan nanti Agha bisa main sama Bunda."

"Agha mau main sama Adek," kata Agha keukeuh. Ia makin usil dengan mencubit tangan Affan sembari memeluknya. Affan yang mengantuk pun makin marah. Tangisnya semakin kencang.

"Gha! Bunda sudah bilang kan kalau mau di kamar sama Adek jangan mengganggu!" ucapku bernada tinggi. Agha kaget mendengarku yang mulai marah.

"Agha mau disini sama Adek sama Unda!" kata Agha mengimbangi intonasi suaraku.

"Bunda kan sudah bilang, Adek biar tidur dulu, nanti Agha main sama Bunda."

"Moh, jangan tidur."

"Ya sudah, Agha main di luar dulu."

"Nggak mau," teriak Agha.

Affan menangis makin kencang. Agha menempel ke aku dan menghalangi Affan untuk mendapatkan Asi.

"Gha, Sekarang pilih, Bunda sama adek di luar atau Agha dulu yang di luar!" kataku dengan nada yang tidak bersahabat sembari berusaha melepaskan diri dari Agha. Affan masih juga menangis. Agha justru makin lengket ke aku.

"Gha! Kasian adeknya, nanti kalau adek bobok, Agha sama Bunda. Agha boleh disini tapi nggak boleh usil, nggak boleh gangguin adek!

Berhasil lepas dari Agha aku berpindah ke tengah, diantara Agha dan Affan. Agha marah karenanya. Ia berpindah ke sisi sebelah. Memulai keusilannya kembali.

"Ya Allah, bocah." aku membuang napas berat.

Affan yang marahnya kian menjadi, kini berbalik menggigit tangan dan menjambak rambut mas nya. Agha menjerit kesakitan dan menangis. Aku melerainya. Kupeluk Agha sembari mengomel.

"Lihat, adeknya ngikutin mas Agha tho, tadi Agha nggigit adek kan."

"Adek nakal!" teriak Agha di tengah tangisannya. Ia berusaha ingin membalas gigitan Affan. Tapi aku mencegahnya. Agha makin keras menangis.

"Unda nakal!

"Bunda sayang Agha, Bunda juga sayang Adek, Bunda nggak mau kalian saling menyakiti, saudara itu saling sayang," kataku tegas.

"Moh, moh ama Bunda," ucap Agha masih dengan menangis.


Aku memanfaatkan kesempatan Agha menangis untuk menyusui Affan. Tidak ada sepuluh menit Affan sudah tidur. Agha tak lagi menangis, posisi Agha agak berjauhan dengan aku dan Affan.

Setelah memastikan Affan lelap, aku pun mendekap Agha dan meminta maaf. Aku sadar Agha juga masih kecil, beda usia mereka hanya dua tahun. Affan 11 bulan dan Agha 34 bulan, dua bulan lagi genap tiga tahun.

"Gha, Bunda minta maaf ya." Agha bergeming dan tidak mau menatap mataku.

"Gha, Agha marah sama Bunda?" tanyaku memelas. Agha masih saja diam tak mau menjawabku. Ia malah memiliih berdendang dan bersholawat.

Kuambil tangan Agha, dan kujabat sembari mengulangi lagi kata maaf, "maafin Bunda ya, Agha marah atau sedih? Cerita sama Bunda ya, Bunda sedih kalau Agha nya marah sama Bunda."

Agha mulai menatapku dan tersenyum, ia memelukku. "Agha mau sama Bunda," kata Agha.

Aku memeluk erat Agha yang baru saja menjadi korban emosiku. Materi komunikasi produktif yang baru kemaren kuterima terngiang di kepala. Sebenarmya jika intonasi suaraku lebih bersahabat mungkin tidak akan sekacau ini. Apalagi kemarahanku tidak berdasar. Agha terus nempel karena memang dia kangen aku yang saeharian bekerja.

Mengendalikan emosi memanglah hal yang sangat sulit tapi aku yakin bisa dipelajari dan disiasati. Sembari berpelukan dalam hati aku berdoa semoga ke depan aku bisa lebih baik lagi dalam mengendalikan emosiku. Bismillah, terus belajar dan berbenah.

Bagi para ibu, belajar mengendalikan emosi dalam mengahadapi anak adalah wajib, fardhu ain. Kemampuan ini harus terus dilatih. Tak boleh ada alasan untuk marah-marah pada anak. Entah itu PMS, capek, bete dengan pasangan, lapar atau alasan apapun sebagai landasan kita membentak anak. Mari kita kelola dan salurkan marah kita dengan baik dan elegan. 

Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

Posting Komentar