Kalau Lapar Makan, Bukan Nangis

Posting Komentar

Kemaren sore, seperti biasa sampai rumah akan disambut oleh Agha dengan gegap gempita.

"Asik, Unda pulang," celoteh Agha riang.

"jawab dulu salam Bunda," tegurku dengan pura-pura melotot. Agha pun menjawab salamku dan mengajakku salim.

Sejurus kemudian, "Unda bawa apa?"

Aku tertawa dengan kebiasaan barunya, menanyakan apa yang aku bawa, tepatnya oleh-oleh untuknya. BErawal dari seringnya aku membawakan oleh-oleh untuknya, meski sekedar yakult satu biji.

"Unda bawa apa?" tanya Agha sekali lagi mendapati aku hanya tersenyum tak merespon pertanyaannya.

"Hmmm, Bunda cuma bawa telur nih buat makan Agha."

"Bawa apa lagi selain telur?"


"Nggak bawa apa-apa lagi," kataku dengan mantap. Aku sengaja ingin merubah kebiasaan Agha yang satu ini. Agha cemberut sebal.

"Bunda kok nggak bawa apa-apa buat Agha," tanyanya dengan wajah kesal.

"Emangnya Mas Agha pengen apa?"

"Mmmmmm, apa ya?" Agha bingung menjawab.

"Tuh kan, Mas Agha lagi nggak pengen apa-apa tho, sudah yuk masuk." Kami berdua masuk ke rumah. Agha menenteng helm-ku dan meletakkannya di samping helm-helm lain. Aku lebih dulu menaruh telur yang kubeli agar tidak pecah.

Usai berganti pakaian dinas harian, Aku menggendong Affan. Info dari mbah ibu, ternyata Affan belum makan sore karena mbah ibu pun baru saja pulang dari kondangan. Segera kusiapkan makanan untuk Affan, kali ini menu sederhana yang benar-benar seadanya. Hanya ada nasi dengan sayur bening campuran wortel, kubis dan selada putih. Tak ada protein nabati dan hewani dalam menu kali ini. Dengan cepat aku menggoreng telur ceplok untuk lauk. Karena Affan sudah terlanjur lapar jadi kuabaikan kurangnya protein nabati.

Affan makan dengan sangat lahap, ia sesekali menyuapi dirinya sendiri. Meski banyak yang tumpah dan tercecer, kubiarkan ia belajar makan sendiri. Tiba-tiba Agha dengan semangat juga meminta makan.

"Unda, Agha juga mau makan."

"Eh, Mas Agha juga mau makan? Kata Mbah Ibu tadi sudah makan di kondangan, masih laper?" tanyaku memastikan.

"Tadi cuma makan sedikit yo, cuma tiga," jelas Agha.

"Owh, cuma tiga sendok maksudnya?"

"He'eh, Agha mau makan lagi biar kenyang."

Aku senang sekali mendengarnya. Beberapa hari ini Agha sudah mau mengutarakan kemauannya untuk makan saat ia benar-benar lapar. Bagiku ini adalah sebuah kemajuan yang sangat pesat. Di saat biasanya Agha harus ditawari berulangkali bahkan sampai hampir "dipaksa" untuk mau makan, sekrang ia meminta sendiri. Tentunya perkembangan ini tidak terjadi begitu saja, ada proses sounding terus menerus ke Agha.

Tak bosan aku menyampaikan ke Agha bahwa, "Kalau Agha lapar, Agha bilang ya sama Bunda, Ayah atau Mbah Ibu."

"Gha, kalau lapar itu makan, bukan nangis, bilang lapar sama Bunda, Ayah atau Mbah Ibu ya," ini redaksi versi lain. 


Kali ini saat Agha mulai pelan-pelan mau mengutarakan keinginannya untuk makan dan paham kondisi laparnya, aku sangat bersyukur atas pencapaian ini.

"Sebentar ya, Bunda ambilkan nasi dulu," kataku ke Agha.

"Oke Nda," jawab Agha mantap.

"Oh ya, lauknya telur sama sayur ya." Aku menawari Agha dengan harap-harap cemas. Jika sampai tidak mau saat ini di dapur tidak ada menu lain selain dua yang aku sebutkan.

"Iya, sama kayak Adek."

Aku lega mendengarnya. Agha pun makan menu yang sama seperti Affan dengan pori yang lebih banya. Alhamdulillah, Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang Engkau dustkana.


Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

Posting Komentar