PARA PENCARI KERJA

Posting Komentar
Aku menatap langit lekat-lekat dari balkon kos ku, takut hujan. Mendung masih bertahta di atas sana. Aku segera berkemas memasukkan beberapa potong pakaian dan berkas-berkas penting yang aku butuhkan nanti di kota seberang. Harapanku membuncah, dalam hati aku berdoa semoga ini adalah jalan yang Tuhan berikan untuk aku. Dengan semangat aku menenteng tas jinjingku menuju jalan raya. 

Saat ini aku sudah di dalam angkutan kota, orang setempat menyebutnya Len. Len ini yang akan mengantarkanku menuju terminal Arjosari. Hanya ada segelintir orang di dalam Len yang masing-masing tanpa bertegur sapa. Hujan mulai turun sesaat setelah aku masuk Len. Rinainya sangat indah, memantul-mantul di kaca jendela yang tertutup rapat. Suara petir menggelegar menjadi backsound dalam perjalananku. Hujan semakin lebat, tapi perjalananku ke terminal belum ada separuhnya.

Empat puluh lima menit di dalam Len, akhirnya aku sampai juga di peron terminal. Jaketku agak basah, begitu pula dengan kerudungku. Sesaat aku merapikan kerudung dan melepas jaket, kulipat dan kumasukkan ke dalam tas jinjing. Beberapa calo mengejar dan menawariku berbagai bis, dari mulai ke Lampung, Jakarta sampai ke Bali. “Tidak pak, terimakasih, saya ke Surabaya,” tolakku halus. Aku segera memasuki ruang tunggu bis dan sudah ada bis Restu Panda yang sedang mangkal, menunggu penumpang. Bis AC yang ekonomis dan lumayan nyaman. Aku segera memasukinya, memilah tempat duduk di tepi jendela. Menikmati rinai hujan yang sudah berubah menjadi rintik kecil gerimis. Bis agak sepi, tidak seperti biasanya ketika aku ke Surabaya, bejubel dan penuh sesak. Mungkin karena hujan, entahlah. Usai membayar karcis bis aku segera memejamkan mata dan mencoba merangkai mimpi.

“Permisi ya mbak, agak geser,” ucap seorang ibu paruh baya dengan dandanan agak menor. Aku mengerjap, ternyata aku tertidur cukup lama. Bis melaju kencang, kursi penumpang pun sudah banyak yang terisi. Aku menggeser sedikit pantatku dan mempersilahkan ibu tadi untuk duduk. “Monggo bu,” tuturku sopan dengan suara agak serak karena masih ngantuk. Kuhirup udara dalam-dalam, meraih kembali kesadaranku. Kuedarkan pandangan ke luar jendela, menerka posisiku saat ini. Ternyata di luar sudah reda bahkan langit cerah ceria. Bis yang tadi melaju kencang, kini merayap, amat sangat pelan, macet! Para pengendara motor menyalip beberapa truk tronton dengan sangat gesit dan ugal-ugalan. Restu panda yang membawaku tetap tak banyak bergerak. Tiba-tiba Greeeeeegggggg greggggggg. Telepon genggam milikkku bergetar. Ada empat sms masuk. Dan dua chat WA. Semuanya dari Vivi, temanku yang akan kutumpangi nanti di Surabaya.

“Nan, dari Malang jam berapa? Sekarang dimana? Macet? Jangan lupa kosku daerah Kutisari, nanti kamu turun di Bungurasih langsung naik Len kuning turun di Siwalan Kerto, pokoknya turun di kuburan jalan mau ke univ. Petra, supirnya biasanya ngerti. Habis itu naik Len hijau pupus turun Kutisari utara gang masjid. Kosku pas di depan masjid. Btw, kira-kira sampai sini jam berapa? Aku jam lima baru di kos, baru pulang kerja.”

Keempat sms dan WA tadi isinya sama persis. Mungkin tadi pending. Dengan lincah kugerakkan jempolku, membentuk deretan kata di layar. Kukirim ke Vivi. Lama kutunggu balasan, tapi tak kunjung datang. Kurebahkan kepalaku, memikirkan apa yang akan terjadi besok. “Mbak nya mau kemana?” suara ibu di sebelahku tadi yang tiba-tiba, mengagetkan aku. Ia tersenyum simpul di balik lipstik merah menyala, memperlihatkan deretan gigi ketimunnya. “Saya bu?” tanyaku retoris. “Iya lah mbak, siapa lagi” ucapnya agak sedikit menggerutu. Aku tersenyum, “saya mau ke Surabaya Bu.” “Asli sana? Atau ada urusan apa?”

Aku mengerutkan kening. Peduli apa dia dengan urusanku. Tapi sudahlah, mungkin untuk sekedar mencari bahan perbincangan. “Dari malang, ada panggilan wawancara kerja di Surabaya Bu,” jawabku jujur tanpa memberikan pertanyaan balik. Aku bukan tipe orang yang suka mengobrol dengan orang asing yang baru aku kenal, apalagi di bis seperti ini. Kening ibu itu berkerut-kerut. “Mbak yakin ke Surabaya cuma untuk wawancara kerja?” Tatapan ibu tadi tajam menusuk, melihat kesungguhan di relung mataku. Aku bergidik melihat tatapan matanya, apalagi lingkar matanya menghitam, agak coreng moreng dengan eye liner yang sudah luntur. Aku diam saja, menunggu ibu tadi melanjutkan kalimtnya. “Percuma mbak, jaman sudah edan, apa-apa pakai duit,” gerutunya sambil menerawang, entah apa yang dipikirkan. “Maksud Ibu?” aku menimpali.

“Saya punya dua anak mbak, dua-duanya sarjana tapi nyari kerja susahnya minta ampun.” kata ibu tadi masih menggerutu. “Mungkin belum rejekinya Bu.” Aku berusaha bijaksana meskipun sebenarnya aku meng-iya-kan kata ibu tadi, karena aku sudah menganggur selama tujuh bulan dan belum ada perkembangan apa pun. “Anak saya yang pertama perempuan mbak, tiga tahun lalu melamar kemana-mana, nggak ada yang diterima padahal IP-nya gede. Terus terakhir itu melamar jadi Teller ke Bank, katanya harus menyediakan 15 juta untuk agen sorcingnya.” Ibu itu berbusa-busa menjelaskan ke aku. “Outsorching Bu” aku membenarkan sembari berpikir untuk outsourching saja ada oknum-oknum seperti itu. Oh my god.

“Lha, saya duit segitu darimana mbak, anak-anak bisa kuliah saja wes untung” kata ibu itu dengan mimik muka sedih. “Terus sekarang putri Ibu kerja dimana?” Aku penasaran dan ingin tahu kelanjutannya. “Mutung wes mba, ngambul, gak nglamar ngendi-ngendi maneh, akhire dilamar pacare, nikah wes, sak iki kerjane momong anak, j*nc*k ancene sak iki duek kabeh.1” Aku tersenyum. Bukan hanya karena ceritanya, tapi karena logat surabayanya yang kental. Tanpa diminta ibu tadi melanjutkan ceritanya. Aku, yang sedang dalam masa mencari kerja jadi tertarik mendengarnya.

“Kalau yang bungsu Alhamdulillah wes jadi PNS,” ibu itu bercerita dengan bangga. “Alhamdulillah.” Aku ikut bersyukur dan senang karena tudingan ibu tadi tidak semuanya benar, hanya saja mungkin butuh bersabar. Rejeki sudah diatur oleh Yang Kuasa. “PNS itu pun pakai duit mbak, untungnya nggak banyak, cuma 90 juta.” Aku melotot mendengar ibu itu mengatakan 90 juta nominal yang sedikit. Prasangka baikku tadi tentang rejeki di tangan Tuhan jadi agak memudar. Astaghfirulloh, aku segera membenahi hatiku. “Tadi Ibu bilang 15 juta uang darimana, kok sekarang 90 juta sedikit?” aku meraba cara pandang ibu itu. “Beda mbak, yang bungsu ini laki-laki, jadi memang harus kerja, ya saya usahakan, kebetulan suami ada warisan tanah sepetak di kampung dari bapak mertua, saya jual laku 60 juta, sisanya rumah saya gadaikan ke bank mbak”

Astaghfirulloh, Ibu itu bercerita hal yang menurutku memalukan dengan sangat tenang bahkan tanpa merasa bersalah telah melegalkan suap menyuap. Aku tersenyum getir ke ibu tadi, senyum yang kupaksakan karena sesungguhnya aku ingin mengelus dada. Orang mencari kerja kan butuh uang, kenapa malah dijadikan objek mencari uang. Aku menggigit bibir bawahku, memikirkan masa depanku yang sampai sekarang masih juga pengangguran, memikirkan masa depan adik-adikku di rumah. 

Aku tiba di kos Vivi hampir maghrib. Tiga jam perjalanan, disambut dengan segelas es teh. Meskipun di kota lain musim hujan, udara Surabaya masih terasa panas menggelora. Aku pamit untuk mandi dan menunaikan sholat maghrib. Usai sholat, Bapak di kampung menelponku, menanyakan kabar dan perkembanganku. Aku minta doa restu ke beliau untuk kelancaranku wawancara akhir besok. “Bapak dan ibu selalu mendoakanmu nduk” kalimat penutup bapak tiap kali telepon, sebelum akhirnya mengucapkan salam. Aku semakin terpekur. Bayangan adikku yang tahun depan lulus SMA dan adik bungsuku yang juga lulus SMP semakin jelas di mataku. Aku harus segera dapat kerja, aku harus membantu bapak.

Vivi yang keluar kos membeli makan belum juga kembali, suara presenter reality show di TV hanya menjadi latar kepiluanku. “Ya Alloh, hanya kepadamu aku memohon” ucapku lirih. Aku sudah berusaha keras selama tujuh bulan ini. Menekuri iklan lowongan di web, kampus bahkan iklan baris di koran. Tapi belum ada titik cerah. Aku hanya berharap cerita ibu di bis tadi tidak menjadi bagian dari cerita hidupku kelak. Aku percaya akan kemampuanku dan aku juga percaya masih banyak orang yang dapat berpikir secara objektif serta punya hati nurani.

Suara pintu terbuka, Vivi datang membawa dua bungkus nasi. Lalapan lele lengkap dengan sambal, ketimun dan kemangi segera kami lahap. Makanan khas anak kos, menu favoritku sejak aku menjadi mahasiswa baru. “Kamu besok tes jam berapa Nan?” Vivi bertanya sembari belepotan makanan. “Dijadwalkan jam Sembilan Vi” Ucapku tak kalah belepotan dan semangat menekuri duri-duri ikan lele. “Besok aku antar saja ya, mumpung sabtu aku libur sekalian pulangnya jalan-jalan ke Tunjungan Plaza.” Sambil mengerling dia merayuku, karena dia tahu aku kurang suka berlama-lama di mall. Vivi adalah sahabatku di kampus, dekat semasa menjadi aktifis di BEM Fakultas. Hobinya jalan-jalan ke mall untuk sekedar window shopping tapi dia cukup rajin untuk urusan akademik. Lulus empat tahun pas, menganggur empat bulan dan akhirnya terdampar di Rungkut Industri, di salah satu perusahaan es krim terkenal di Indonesia. “Bagaimana Nan? Pulangnya jalan-jalan ke Tunjungan Plaza ya, please!” Vivi mengulangi pertanyaannya dengan manja. Aku mencibir dan dengan amat sangat terpaksa mengiyakan ajakannya.

***

Pagi buta aku mandi, Surabaya kian hari kian panas. Usai mandi, tak lupa aku kembali meminta doa restu ke bapak dan ibu di rumah. Pukul delapan, setelah sarapan sebungkus pecel khas Madiun aku dan Vivi melaju ke arah Rungkut Industri. Sepeda motor tuanya meraung di jalan. Sebenarnya dari dulu aku risih dibonceng Vivi dengan sepeda motor bututnya, bukan lantaran gengsi, tapi karena tatapan pengendara lain yang seolah menelanjangiku karena menjadi korban kepulan asap motor Vivi. Sepanjang perjalanan cerita ibu di bis kemarin masih membekas di benakku. Aku merinding membayangkan jika aku harus menyediakan sekian juta untuk masa depanku. Sepanjang perjalanan itu pula aku berdoa, aku merasa sudah berusaha ekstra, jadi pasrah dan yakin dengan ketentuanNya adalah pilihan kemudian.

Di depan pintu gerbang perusahaan, sebelum masuk aku komat kamit, melantunkan berbagai doa. Mengusir pikiran jelek yang membayang. Vivi cengar-cengir melihat tingkahku. “Cepat masuk, semangat! Aku yakin kamu pasti bisa Nan,” Vivi memberiku semangat, yang justru semakin menaikkan adrenalinku. Dia menungguku di ruang tunggu. Aku segera menemui seorang recepcionist yang cantik. Memperkenalkan diri dan mengutarakan tujuanku. “Silakan Bu, langsung naik ke tangga, anda sudah ditunggu, ruangannya di samping tangga tepat.” Ucapnya kenes dan kemayu. Dengan sigap aku mengangguk dan menaiki tangga. Memasuki ruangan, jantungku berdetak lebih cepat. Di dalam ruangan duduk seorang wanita menjelang usia 40-an dengan blazer merah marun yang dipadu padankan dengan jilbab mungilnya, tatapannya angkuh.

Hampir satu jam aku di dalam ruangan. Ternyata tak semengerikan yang aku bayangkan. Tak seangkuh tatapannya. Cukup bersahabat dan tetap berwibawa. Kami memperbincangkan tentang aktifitas kuliahku, target ke depan, prinsip, dan hal-hal ringan yang di luar dugaanku. Tapi seperti seorang artis yang sedang pers conference, hampir semuanya tentang aku. Kalimat terakhirnya membuatku kembali sport jantung. “Saudara Nanda, aktifkan telepon anda dari sekarang, jika anda memenuhi kualifikasi yang kami butuhkan, bagian HRD akan segera menghubungi anda hari ini juga,” wanita itu segera menjabat tanganku erat dan mempersilakan aku keluar.

****

Turun tangga, aku melihat Vivi manyun karena buyutan menungguku. Aku tertawa nyengir. Segera keluar dan menuju tempat parkir. “Bagaimana Nan?” kejarnya menjajari langkahku. “Insyaalloh, kita tunggu hasilnya hari ini juga,” ucapku mantap serasa beban semalam yang menghimpitku terbang. Kali ini aku benar-benar pasrah, apapun hasilnya nanti. Motor Vivi membawa kami melintasi jalanan Surabaya, menuju Tunjungan Plaza. Bersama dengan itu pula seorang pengendara motor di sebelahku merebut paksa tasku, beserta telepon genggam satu-satunya yang membawa harapanku, dan melaju pesat. Suara bapak menggema di sekitarku “bapak dan ibu selalu mendoakanmu nduk”

*End*


Catatan:
1) Ngambek mbak, nggak melamar kemana-mana lagi, akhirnya diilamar pacarnya, nikah deh, sekarang kerjanya momong anak, j*nc*k memang, sekarang semuanya pakai uang.



#tantanganODOP4
#odopbatch6
#fiksi
#onedayonepost
Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

Posting Komentar