PUISI UNTUK IBU

Posting Komentar
Hai, namaku Apik. Ayah yang memberiku nama itu. “nama kamu memang sederhana nak, namun penuh makna.” Kata ibu. Apik diambil dari bahasa Jawa, artinya baik atau bagus. Melalui nama ini, terselip doa dari Ayah yang ingin aku menjadi anak yang baik, jadi kebanggaan ayah. Usiaku saat ini sepuluh tahun, dan sekarang aku memasuki tahun keempat sekolah dasar. Tiap habis sholat, aku selalu berdoa untuk ayah dan untuk diriku sendiri agar bisa menjadi anak yang baik seperti harapan ayah, agar ayah bahagia di alam sana. Itu yang diajarkan ibu padaku.

“Apik, untuk menjadi orang yang baik, kita harus disiplin. Disiplin pada diri sendiri, termasuk disiplin waktu” Tegas ibu tiap kali membangunkanku. Aku hanya berani diam jika ibu sudah menasehatiku soal waktu karena memang aku sangat buruk tentang itu. Sejauh ini, kata ibu, perangai jelekku yang harus dikikis habis adalah susah bangun pagi. Aku seringkali kesiangan, tidak jarang aku sholat subuh berkejaran dengan matahari terbit. Dan kesiangan ini akan berujung pada kesiangan-kesiangan lain, termasuk kesiangan berangkat sekolah.

Kalian tahu, jarak dari rumahku ke sekolah tidak begitu jauh, tapi juga tidak dekat. Jika bersepeda membutuhkan waktu sekitar setengah sampai satu jam. Sebenarnya aku ingin sekali bersepeda ke sekolah, agar ibu tidak terlalu repot mengantar dan menjemputku, tapi ibu melarangku. “Zaman sudah berubah nak, dunia tidak lagi ramah untuk anak-anak. Biarkan ibu yang mengantarmu.” Kata ibu saat dulu aku merengek minta berangkat sendiri dengan bersepeda. Teman-temanku yang lain juga selalu diantar jemput oleh ayah atau ibunya. Oh ya, Ibu mengantar dan menjemputku dengan motor bebek kesayangannya. Satu-satunya motor yang kami punya, peninggalan ayah. Ibu selalu merawat motor ini dengan sepenuh hatinya. Seperti seorang ibu yang merawat bayinya.

Di sekolah, mata pelajaran yang paling aku sukai adalah Bahasa Indonesia. Entahlah, aku suka sekali pelajaran ini. Mungkin karena aku menyukai gurunya yang sangat ramah dan murah senyum. Tiap kali mendapat PR untuk menulis puisi atau pantun aku selalu bersemangat, bahkan teman-temanku senang sekali minta bantuanku. Mereka juga suka dengan puisiku. Aku pernah mengirim puisi untuk ibu, aku berikan di hari libur sesaat sebelum ibu berangkat ke pasar. Ibu menangis setelah membacanya. “Ibu juga sayang Apik, Ibu bahagia sekali nak” Jawab ibu waktu itu. Semenjak itu, aku tidak pernah mengirim puisi lagi untuk ibu, aku takut ibu menangis lagi. Ini puisi yang dulu kukirim untuk ibu.

Ibu, kau adalah pelita hatiku

Yang tak padam oleh waktu

Ibu, kau adalah wanita terhebat

Yang selalu tabah dan kuat

Ibu, kau bagai embun pagi

Yang memberikan kesejukan hati

Aku sayang ibu selalu setiap hari

Tak kan pernah berhenti

Karena keahlianku membuat puisi, sekolah mengutusku untuk mengikuti lomba cipta dan baca puisi anak yang diadakan oleh Perpustakaan Kabupaten. Lomba ini diadakan untuk memperingati hari jadi kota kami. Aku sangat senang karenanya. Aku bahkan tidak sabar menghitung hari, padahal masih kurang satu minggu lagi. Aku berlatih setiap hari, sampai seringkali aku tertidur dengan menggenggam kertas dan pulpen.

Waktu bergulir. Tak disangka hari perlombaan tinggal besok. Aku semakin deg-degan, tapi tiba-tiba aku takut. Aku bukan takut pada perlombaan ini, aku lebih takut besok pagi aku kesiangan, seperti yang selama ini terjadi. Sebelum tidur, aku berkali-kali memastikan jam waker di kamar sudah aku setel pada volume tertinggi. Aku juga sudah minta tolong ibu untuk membangunkanku tepat waktu. Ibu hanya tersenyum, tidak menjawab apapun.

Paginya, apa yang aku khawatirkan benar-benar terjadi. Aku bangun kesiangan, aku terbangun jam 6 pagi. Aku marah sekali pada ibu, bisa-bisanya ibu tidak membangunkanku. Aku juga sebal pada waker di kamarku, kenapa sepertinya ia tidak meraung-raung membunyikan alarm nya. “Tadi ibu sudah membangunkan kamu lebih dari lima kali, alarm jam waker juga sampai kelelahan berbunyi.” Jelas ibu padaku. “Biasanya kan ibu tidak meninggalkan aku sampai aku benar-benar bangun.” Belaku pada diri sendiri. “Pik, sebentar lagi usiamu sebelas tahun, kalau ibu terus saja mendikte kamu harus bangun jam segini, kamu harus ini, kamu harus itu. kapan kamu akan belajar membagi waktumu sendiri dengan baik.” Ibu memandangku dengan lembut, dan melanjutkan kalimatnya “lebih baik sekarang mandi dan siap-siap. Kamu sudah sangat terlambat.” Aku segera berlari ke kamar untuk bersiap-siap.

Aku tiba di lokasi lomba dengan tergopoh-gopoh dan bermandikan keringat. Bukan karena capek, tapi karena gugup. Aku telat 20 menit dari waktu yang dijadwalkan. Panitia lomba menyatakan bahwa aku tidak bisa mengikuti lomba karena terlambat mengisi form dan persyaratan. Mataku berkaca-kaca. Aku sangat menyesal, tapi aku tidak bisa memutar waktu ke belakang. Pak Bai, Guru Bahasa Indonesia sekaligus pembimbing yang mendampingiku disini sedari tadi sudah menasehatiku panjang lebar. Aku semakin merasa bersalah.

Karena acara belum juga dimulai, Pak Bai mencoba melobi pihak panitia. Aku, ibu, supir sekolah dan beberapa teman yang ikut kesini hanya bisa mengamati dan berdoa. Beberapa teman juga ada yang memarahiku habis-habisan. Sebal? Pasti. Tapi memang semua salahku. Saat mereka semua sudah berkumpul untuk mendampingiku lomba, aku justru masih asik tidur. Aku memandang ibu dengan sebal, seolah menyalahkan ibu yang tidak membangunkanku tepat waktu. Tapi ibu sama sekali tidak merasa bersalah. Tatapan matanya masih saja lembut dan sejuk bak telaga, mata yang bahagia. Seolah sengaja membiarkan aku pada posisi ini, agar aku belajar menghargai waktu.

Pak Bai berjalan cepat ke arah kami sembari agak berteriak. “Apik, segera bersiap-siap, panitia sudah memeberikan dispensasi.” aku senang sekali mendengarnya, bergeming dan melongo. “ayo cepat, jangan menunda lagi.” tegur Pak Bai padaku. “eh, baik pak.” ujarku sembari merapikan tas ransel. Ibu memandangku dengan tatapan penuh arti, memberikan semangat. Tatapannya menyadarkanku bahwa aku harus belajar dari kejadian ini.


“kamu tahu Pik, kenapa mereka mengijinkanmu untuk tetap ikut?” tanya Pak Bai padaku sembari berjalan menuju ke ruang perlombaan. Aku menggeleng. “Karena beberapa panitia ada yang mengenalimu dan ibumu sebagai pengunjung tetap perpustakaan ini, hampir tiap Jumat selalu ada nama kalian sebagai daftar pengunjung.” aku senang sekali mendengarnya. Hampir tiap hari Jumat memang ibu mengajakku membaca buku sebanyak mungkin. Karena uang ibu tidak cukup banyak untuk selalu membeli buku, maka alternatifnya adalah buku gratis di perpustakaan. Saat itu juga aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak bangun kesiangan lagi, untuk tidak menunda apapun.
Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

Posting Komentar