Mengenalkan Permainan Tradisional "Ingkling"

6 komentar

Bagi emak-emak yang lahir sebelum tahun 90an, hampir pasti mengenal permainan ingkling.  Kenapa saya menyebut sebelum tahun 90an? Karena makin kesini, ingkling makin jarang dimainkan. Apalagi anak zaman now, sebagian mereka lebih memilih game atau berjibaku dengan gadget. Padahal hampir tiap daerah mengenal permainan ini, meski mungkin dengan nama yang berbeda-beda. Ada yang menyebutnya engklek, dengkleng, teprok dan masih banyak nama lain yang digunakan.

Ingkling adalah permainan yang melatih motorik kasar anak. Permainan ini mengandalkan gerak aktif para pemainnya sehingga sangat bagus untuk tumbuh kembang dan kesehatan anak serta melatih keseimbangan karena menggunakan satu kaki untuk melompat dari kotak ke kotak. Ingkling biasanya dimainkan oleh dua orang atau lebih, bahkan bisa sampai lima orang. Mereka saling bergantian menunggu giliran mainnya tiba. Biasanya penentuan giliran menggunakan hompimpa atau suit jika hanya dua orang.

Bagimana cara memainkannya?

Mula-mula, para pemain membuat pola kotak-kotak yang dijadikan media untuk bermain. Bentuknya bebas tidak ada pakem khusus. Bisa berbentuk lemari, kupu-kupu atau menyerupai robot. Tergantung kreasi dan kesepakatan tiap anak. Bidang datar yang digunakan untuk membuat pola bisa di ubin, dengan memggunakan kapur tulis atau crayon untuk menggambarnya. Jika memilih bermain di tanah maka bisa hanya memanfaatkan kayu untuk langsung membuat polanya di tanah.

Setelah bentuk jadi, masing-masing anak mencari patah (nama di tiap daerah pun bisa bearneka rupa). Patah ini bisa dari pecahan genteng, pecahan eternit atau apa saja yang berbentuk pipih dan padat. Setelah semua siap, sesuai giliran, anak memainkannya, lompat dengan satu kaki dari kotak ke kotak. Semua patah ada di kotak awal. Bidang / kotak yang ada patah di dalamnya tidak boleh diinjak. Harus bisa melompatinya. Setelah berputar dan semua bidang yang tidak ada patah didalamnya terlewati, maka sebelum selesai, si pemain harus mengambil patahnya terlebih dahulu. Setelahnya anak bisa memainkan putaran kedua dengan terlebih dulu melemparkan patahnya ke bidang kedua dan seterusnya. Melempar patah pun ada aturannya, patah tidak boleh menyentuh garis, disini kami menyebutnya omel.

Jika semua aturan terlewati dengan baik, maka si pemain bisa terus main. Namun jika omel, lompat melebihi garis dan aturan lain tidak tercapai, maka permainan berpindah ke giliran pemain berikutnya. Begitu terus berputar sampai prmain bosan dan menghentikan permainannya.

Nah, sabtu kemaren, karena aku libur, maka aku berencana mengenalkan permainan ini. Tapi baru sekitar jam 9 pagi aku bisa mengeksuki ide ini. Menunggu Affan tidur terlebih dulu.

Sebelum membuat pola, terlebih dulu kuceritakan ke Agha bahwa permainan ini sangat populer pada zaman bunda nya kecil. Kupaparkan cara main beserta aturan-aturannya. Agha mendengarkan dengan seksama. Setelah Agha paham, kami berdua mencari patah dari pecahan genteng.

Patah siap, kami pun membuat pola di halaman rumah dengan menggunakan crayon. Agha senang sekali saat fase ini. Ia dengan semangat menggambar pola kotak-kotake mengikuti intruksiku.

Setelahnya aku memberikan contoh memainkannya. Agha mengikutiku di belakang. Ikut melompat dari kotak ke kotak. Sayangnya Agha melompat dengan dua kaki. Hanya di awal-awal saja ia melompat dengan satu kaki.

"Loh, kok pakai dua kaki, gini lo kayak Bunda, kakinya yang satu diangkat, baru lompat," jelasku ke Agha.

"Tapi Agha nggak bisa, Agha capek Nda," kilah Agha.

"Hmmm, hayuk coba lagi, Agha pasti bisa kok, kalau sudah bisa nanti capeknya hilang."

Agha pun mencobanya dua sampai tiga kali. Sebenarbya di awal-awal kotak dia xukup berhasil. Tapi tak berapa lama dia duduk dan menyerah.

"Nda, sudah yuk, Agha capek, main yang lain aja yuk," pinta Agha nampak bosan.

Ternyata permainan ini belum bisa menarik perhatiannya. Agha sama sekali tidak menikmati. Mungkin karena baru pertama kali nya dan memang dia belum begitu mahir lompat dengan satu kaki, jadi dia merasa permainannya kurang asik dna tidak menarik.

"Ya sudah, kapan-kapan kita main ini lagi ya, nanti Bunda ngajakin Mas Avis dan Mas Asva ya biar seru," kataku mengakhiri permainan.

Rencana bermain ingkling pun kandas. Mungkin lain kali bisa dicoba lagi. Kami pun meninggalkan halaman depan dan pindah ke samping rumah, mengamati daun bawang yang kami tanam semakin bersemi.

Nah di bawah ini pola yang kami buat, sayang Agha tidak mau difoto.




Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

6 komentar

  1. Kalau di Sumba ini namanya TOR ada jg yg bilang namanya kasede..

    BalasHapus
  2. Di daerahku engkle.
    Ngajar di TK, kata anak-anak "main Pak Tani"

    BalasHapus
  3. haii kak tulisannya menarik mengingatkan aku kecil beberapa tahun silam, kalau aku biasa menyebutnya main taplak.. makasih yaa akunjaadi bernostalgia dan rindu hee..
    overall bagus, cuma ada beberapa kata didalam tanda petik pertama tidak huruf kapital. coba diperhatikan cara kepenulisannya lagi, ehehe maapkan klo aku salah

    BalasHapus
  4. Baru denger Ingklong kok ya, jadi tau

    BalasHapus
  5. Di sini namanya dengklekan, ada yg bilang sundamanda.

    BalasHapus

Posting Komentar