Gadis Kecil di Stasiun

10 komentar

Siang ini panas begitu terik. Udara terasa mencekik. Berkali-kali aku melihat jam merah marun yang melingkar di tangan. Jadwal kereta yang akan membawaku ke Surabaya masih 1 jam lagi. Ransel merah yang penuh dengan baju untuk dua hari kuletakkan di lantai, menjadi sandaran kaki. Iseng, aku mengamati flat shoes beludru kesayanganku. Warna marunnya kini semakin memudar karena terlalu sering kupakai. Jenuh dengan kesendirian, Aku memilih untuk berselancar di instagram.

Sebenarnya salahku sendiri yang datang terlalu dini. Aku takut terlambat seperti tiga bulan lalu. Mau tak mau aku harus memilih bis sebagai pengganti kereta yang meninggalkanku. Belajar dari pengalaman, aku berangkat dari rumah satu jam lebih awal. Tiba di Stasiun masih sangat lengang, belum ada penumpang Argo Bromo Anggrek satu pun. Baru ada beberapa penumpang kereta Kaligung yang akan menuju Semarang. Aku bukannya sok tahu, aku tahu karena saat Kaligung datang dari Tegal, satu per satu dari mereka masuk ke dalam, meninggalkanku sendirian di ruang tunggu.


Bosan dengan instagram. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru arah. Kuamati truk-truk besar berderet menanti antrian lampu merah, tepat di seberang stasiun. Kuhirup aroma kopi yang menguar dari toko roti di ujung barat gedung ini. Du penjaga pintu masuk ruang tunggu utama berbincang seru, tak mengindahkanku yang teronggok seorang diri menanti kereta. Alhamdulillah, gawaiku berdering, notifikasi grup yang lupa belum ku-silent. Nampaknya ada perbincangan ramai di grup. Karena penasaran kubuka obrolan grup. Aku tertawa sendiri membaca meme-meme yang lucu dan satir. Ternyata grup sedang ramai beradu meme.

Tiba-tiba aku merasa ada yang memperhatikanku. Saat menoleh, memang benar, ada anak kecil duduk persis di sebelahku. Kuedarkan pandangan, tak ada orang dewasa lain. Mungkin anak tukang parkir atau penjual di sekitar sini. Tampilannya kumal dan dekil. Menggunakan baju seragam sekolah yang sudah lusuh dan kotor. Rambutnya kusut masai. Aroma keringatnya asin bercampur langu.

Mbak, aku haus,” kata anak kecil dengan muka kelelahan.

Adek sendirian? ibunya dimana?” tanyaku tak mengindahkan permintaannya. Aku mulai waspada, mengingat berbagai modus kejahatan sekarang beraneka rupa.

Aku haus Mbak, boleh minta minumnya?” katanya sekali lagi.

Kuamati wajahnya yang tirus, menghitam karena panas. Rambutnya meranggas. Bibirnya pecah-pecah. Rasa ibaku bermunculan. Aku segera mengeluarkan tumbler merah berukuran 1 liter yang tinggal separuhnya. Kuulurkan padanya, “Silahkan minum dulu Dek.”

Ia menenggaknya dalam sekali tegukan. Habis tak bersisa. Aku melongo dibuatnya. Kutanyakan padanya sekali lagi, “Adek sama siapa? Dimana ibunya?”
Ia hanya menggeleng. Kuubah pertanyaanku, “Adek mau kemana? Kok sendirian?”

Aku mau mencari Ibu,” jawabnya mantap, berenergi dan penuh semangat.

Emang ibunya kemana Dek?”

Pergi ke Surabaya, katanya mau cari uang, tapi nggak pulang-pulang.” Aku menelan ludah mendengarnya.

Bapak tahu adek mau menyusul Ibu?”

Ia menggeleng, namun air matanya tumpah meski tak ruah. Secepat kilat ia menghapusnya. “Bapak sakit, aku ingin bilang ke ibu kalau bapak sakit, biar Ibu mau pulang, kasian Bapak selalu mengigau memanggil nama Ibu.” Ia menjelaskan dengan gemetar menahan tangis.

Aku menghela nafas, ingin sekali kupeluk anak itu. Tapi aku tahu ia berusaha nampak tegar. Sepertinya masalah yang dihadapinya membuatnya lebih dewasa dibanding usianya. “Adek namanya siapa? Usianya sekarang berapa tahun?” tanyaku semakin penasaran.

Namaku Anis, aku kelas lima SD, Mbak bisa menolongku? Gimana caranya beli tiket kereta agar aku bisa ketemu Ibu? aku cuma punya uang segini.” Tanpa jeda ia berkata sembari mengeluarkan beberapa puluh ribuan dan pecahan lainnya. Kutaksir, mungkin sekitar dua ratus ribu.

Adek tahu alamat pasti Ibu dimana?” Aku mulai khawatir dengan kenekatannya. Ia mengagguk dan memberiku secarik kertas bertuliskan alamat lengkap dengan blok dan nomor rumah. Aku mengernyit, seingatku itu alamat perumahan elit.

Dapat alamat ini darimana Dek?”

Aku mengambilnya di dompet Bapak,” jawabnya polos.

Adek mau dengerin nasehat saya?” Ia mengagguk.

Adek masih kecil, belum bisa pergi jauh sendirian. Apalagi ke Surabya. Bahaya ya Dek, sekarang mulai banyak culik berseliweran dimana-mana. Saya bukannya menakut-nakuti, tapi ini demi kebaikan Adek.”

Tapi aku mau ketemu Ibu, Mbak.” Protesnya.

Adek sayang sama Bapak?” pancingku. Sekali lagi ia menangis, kemudian mengangguk.

Kalau Adek sayang sama Bapak, lebih baik pulang, jaga Bapak di rumah, kalau terjadi apa-apa sama Adek, nanti Bapak malah sedih. Rumah adek dimana?”

Aku nggak mau pulang sebelum ketemu Ibu.” jawabnya keekeuh.

Adek mau dibantu?” tanyaku menawarkan.

Aku mau ketemu Ibu,” jawabnya tak berubah.

Kalau Adek mau dibantu, lebih baik sekarang pulang ya, saya mau ke Surabaya, disana dua hari, nanti saya usahakan mencari alamat ini dan menyampaikan pesan adek jika urusan saya sudah selesai, gimana?” tawarku sembari memotret alamat tersebut dengan kamera hape. Entahlah, rasa ibaku yang berlebihan atau mungkin Allah mengutusku untuk menolong anak ini. Aku serius mengucapkan kalimat itu barusan. Tulus ingin menolong.

Ia tersenyum cerah. Wajahnya sumringah. Cantik. Indah. “Benarkah Mbak?”

Aku tersenyum dan kuusap rambut kumalnya. “Insya Allah ya Dek,” kuambil jeda sejenak dan kulanjutkan, “Sekarang Adek pulang ya, rumahnya dimana?”

“Bojong Mbak.” Mendengar kata Bojong, aku kaget. Lokasinya cukup jauh dari Stasiun Pekalongan. Dengan berkendara saja membutuhkan sekitar 40 menit perjalanan.

“Tadi Adek kesini naik apa?” tanyaku curiga.

“Aku jalan kaki Mbak,” jawabnya tegas anpa minta belas kasihan

“Hah?! Astaghfirullahaldzim, itu jauh banget, untung nggak ada yang nyulik kamu.” Pantas saja dia tadi kehausan dan kelelahan. Dia malah tersenyum mendengar kekagetanku. Ah, tegar sekali gadis ini.

“Tadi aku pamit ke Bapak untuk sekolah, tapi aku sudah bulat untuk ke Surabaya. Dulu aku pernah kesini bersama Bapak saat mengantar Ibu pergi,” jelasnya padaku.

“Kamu masih hapal jalannya?” tanyaku takjub. Ia mengangguk. Mungkin ingatannya memang sangat luar biasa.

“Tadi sempat nyasar ke alun-alun yang depannya Masjid, terus nanya ke tukang becak, terus saya diantar kesini."

“Kamu kan tadi bawa uang, kenapa nggak kamu gunakan untuk bayar angkot aja biar nggak perlu jalan kaki?”

“Aku takut uangnya untuk bayar kereta kurang Mbak.”

“Ya sudah, gini aja, Mbak anterin kamu pulang ya, biar aman.” Sejurus kemudian aku sadar, aku sedang menanti kereta Argo Bromo yang sebentar lagi tiba di stasiun ini.

“Jangan Mbak, katanya mau ke Surabaya? mau menolong aku, nanti kalau keretanya datang gimana, aku bisa pulang sendiri.” Ia menolak dengan tegas.

Aku menggeleng sembari berpikir. Aha! Aku menarik tangannya, “Ayuk Mbak titipkan ke Petugas Stasiun, Mbak punya teman disini, biar nanti diantar sama temannya Mbak ya.”

Sembari berjalan, aku memencet nomor telepon temanku itu. Aku tak tahu pasti apa jabatannya, salah satu petinggi di Satisun ini. Lama tak diangkat, tepat setelah aku masuk ke dalam ruang tunggu pembelian tiket on the spot, teleponku diangkatnya. Kujelaskan sedikit dan dia bersedia membantu. Kami pun bertemu di dalam ruang tunggu. Kutitipkan Anis pada temanku, namanya Wawan. kami tak sempat berbincang panjang karena aku sudah terburu-buru. Aku segera pamit dan berlari-lari kecil karena lima menit lagi kereta Argo Bromo Anggrek meninggalkan Stasiun ini. Sepanjang perjalanan, tak sedikitpun kuingat materi presentasi meeting triwulan. Pikiranku penuh dengan gadis kecil tadi. Aku berdoa semoga Anis baik-baik saja dan aku bisa menemukan Ibunya.


Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

10 komentar

Posting Komentar