Jejak Riona 2

2 komentar
Kabar menghilangnya Riona sudah beredar di seantero pabrik tempat kerja Rio. Teman-temannya banyak yang berempati. Beberapa ikut membantu pencarian. Bahkan atasannya memberi dispensasi masuk setengah hari kalau memang dibutuhkan atau ada panggilan dari Kantor Polisi.

Kehidupan Ratna dan Rio tak lagi manis seperti minggu-minggu sebelumnya. Tiada hari tanpa tangis Ratna. Pikiran Rio pun tak bisa sepenuhnya saat di tempat kerja. Fokus Rio terpecah. Otaknya penuh dengan nama Riona, gadis kecil kesayangannya.

Berbagai praduga mulai menghiasi kepala Rio maupun Ratna. Hanya saja Rio tak berani mengucapnya secara terang. Ia menyimpannya dalam hati sembari terus berusaha mengenyahkan prasangka buruk.

Ia masih terus berharap. Doanya semakin gencar. Tahajudnya tak pernah tertinggal. Sujudnya makin dalam dan panjang. Rio percaya, Riona baik-baik saja tapi entah dimana keberadaannya.

Memasuki hari ke sepuluh dari hilangnya Riona. Polisi dirasa makin lamban memberikan informasi perkembangan. Rio tak mau hanya mengandalkan Polisi dalam pencarian. Ia membuat tim sendiri untuk menyisir seluruh penjuru kota, hingga ke pedalaman desa. Tim yang terdiri dari saudara dan teman. Tak ada imbalan apapun, selain ucapan terimakasih. Rio beryukur, di tengah kemelutnya masih ada orang tulus di sekitarnya.

Adapun Ratna tampak seperti zombie. Badannya mulai terlihat kurus. Matanya cekung dikelilingi lingkaran hitam. Jiwanya kosong. Tangisan menjadi teman harian. Di tengah kepiluannya, Ia bersyukur Rio tak pernah menyalahkannya. Rio justru selalu menguatkan dan mengingatkan.

****
"Kenapa kamu sedih begitu? kamu belum makan sejak datang kesini, cuma minum apa bisa kenyang?"

"Aku pengen pulang, gimana caranya? Orangtuaku pasti sedih dan mencariku kemana-mana."

"Kalau aku tahu caranya, kamu tak akan menemuiku disini, aku pasti sudah lebih dulu pulang."

"Kamu tak pernah mencari tahu caranya?"

"Tentu saja sudah, tapi aku lelah, jadi aku  pasrah."

"Jangan, jangan berkata begitu, kita harus menemukan jalan pulang."

"Sudahlah, mulailah terima kenyataan, nikmati saja apa yang ada disini, setidaknya kamu beruntung, ada aku yang bisa kamu ajak bicara."

"Maksud kamu?"

"Dulu, saat pertama datang kesini, aku hanya seorang diri, tak ada yang bisa kuajak bicara, meski sekedar mengucap hai."

"Apakah tak ada orang lain selain kita?"

"Ada, tapi mereka tak bisa melihat kita, tak bisa berkomunikasi dengan kita."

"Maksud kamu gimana? Aku nggak ngerti deh."

"Sudah lah, besok-besok saat kamu mulai bosan berdiam diri disini, kamu bisa berjalan-jalan dan melihatnya sendiri, lebih baik makan dulu biar nggak sakit, aku bukan dokter ataupun tabib, jadi aku tak bisa menolongmu kalau kamu sakit.

"Sudah berapa lama kamu disini?"

"Aku lupa, dulu pertama kali aku nyasar kesini, aku selalu menggoreskan tanda di pohon, agar aku tahu sudah berapa hari aku disni."

"Sekarang sudah tidak lagi?"

"Aku bosan, buat apa, toh tak ada maknanya lagi, kita berdua akan menua disini. Orangtua kita akan melupakan kita dan mengaggap kita sudah mati."

"Apakah kamu sudah selama itu disini?"

"Aku tak tahu berapa lama tepatnya, karena aku ingin benar-benar melupakannya dan mulai menikmati apapun yang terjadi."

"Jangan bicara seperti itu, kita pasti bisa kembali, aku yakin."

"Bagaimana caranya?"

"Aku tak tahu, aku masih berpikir."

"Berpikir saja tidak cukup gadis kecil, kita harus mencarinya."

"Mencari? Mencari apa maksudmu?"

"Mencari kunci penghubung ke dunia nyata kita."

"Kunci? Benarkah? Jika kita menemukan kunci itu, kita bisa pulang?"

"Mungkin."

"Jadi baru mungkin, aku kira kamu sudah tahu dimana pintunya, tinggal menemukan kuncinya."

"Aku memang sudah menemukan pintu itu, berbulan-bulan lalu, saat aku masih bersemangat untuk bisa pulang."

"Benarkah? Aku yakin, kalau kita bekerjasama, kita pasti bisa menemukan kuncinya, oh ya perkenalkan, namaku Riona."

"Aku Rendra."

Mereka berkenalan dan bersalaman. Riona yang sedari tadi nampak murung, kini mulai bersemangat kembali. Ada secercah harapan untuk bisa pulang.

Riona dan Rendra. Dua anak malang yang terdampar di dimensi lain dengan pola yang hampir sama. Bermula dari kunci misterius.
***

Dua hari berlalu dari perkenalan mereka. Belum ada perkembangan apapun. Riona harus bersabar menanti Rendra yang belum mau menunjukkan pintu penghubung.

"Darimana kamu mendapatkan kunci sialan itu?" tanya Rendra saat keduanya sarapan dengan menu singkong rebus dan kopi hitam pekat. Singkong di negeri ini terasa lebih manis dan gurih. Riona yang sebelumnya tak begitu suka denhgan umbi-umbian kini makan dengan lahap. Tak mendengarkan pertanyaan Rendra.

"Ya ampun, lapar ya lapar sih Na, tapi ditanya mbok ya nyaut," keluh Rendra sebal.

"Eh, kamu nanya sama aku? Aku lagi menikmati singkong, ini enak banget, kamu pinter masak juga ya ternyata."

"Bukan aku yang pinter masak, tapi emang makanan disini rasanya jauh lebih enak, kalau manis ya manisnya pas, kalau gurih ya pas, pokoknya cocok lah sama lidahku."

"Pokoknya enak, aku nggak pernah makan singkong seenak ini, legiiiiit banget."

"Halah, mbahas kok singkong, itu tadi pertanyaanku dijawab dulu."

"Tanya apa sih tadi, beneran tadi aku nggak dengerin."

"Huh, dasar, darimana kamu mendapatkan kunci sialan itu?"

"Maksudmu kunci emas itu?"

"Iya."

"Aku nenemukannya di kebun belakang sekolah saat kami sedang praktek berkebun, tertimbun di dalam tanah, aku segera mengambilnya dan kusimpan di dalam sakuku. Entah bisikian darimana, aku ingin sekali mencobanya untuk membuka pintu,  dorongan itu sangat kuat, dan aku menggunakannya untuk membuka pintu rumah saat pulang sekolah, harusnya aku nggak ceroboh memakainya." jawab Riona dengan mata berkaca-kaca.

"Sudah, jangan melow gitu, aku nanya bukan untuk bikin kamu sedih, aku hanya ingin memastikan kalau pola kita sama, mungkin ada jawaban yang bisa digali."

"Kamu juga dapat kunci emas itu di sekolahmu?

"Enggak, aku nggak sekolah, aku homeschooling, kunci itu sudah ada di meja kamarku, secara tiba-tiba, tadinya aku mengabaikannya, karena bagiku yang menarik hanyalah game. Aku tergila-gila pada game. Kunci sialan itu sudah bertengger di dalam tasku sejak lama, baru saat mati lampu dan laptopku ngedrop, aku iseng mengambil kunci itu dan memasukkannya ke pintu kamar, saat pintu tebuka aku sudah tak di rumahku lagi, tapi disini, negeri asing yang tak pernah ada dalam khayalanku."

"Apakah ini kebetulan? Atau...?

"Ada yang sengaja mengatur pertemuan kita dengan kunci itu, tapi siapa dan untuk apa aku tak tahu."

Riona mulai tertarik dengan pembicaraan ini, ia menghentikan makannya dan menyeruput kopi hitam pekat yang sangat nikmat. Ia segera bangkit dari duduknya. "Kita harus cari tahu siapa dan apa tujuan di balik ini semua, ayuk katanya mau ngajakin aku jalan-jalan melihat kehidupan lain di negeri ini," kata Riona penuh semangat.

Mereka berdua berjalan ke arah selatan. Melewati rerimbunan pepohonan yang batangnya tak akan muat untuk dipeluk. Daunnya menjadi kanopi di hutan itu. Tak nampak kehidupan manusia. Yang terdengar justru suara hewan-hewan hutan. Menggelegar, tapi tak menakutkan. Hutan itu, meski gelap dan lebat, tak menakutkan. Energi yang dialirkan mencipta energi positif.

"Ndra, ini kita bener lewat sini? Kok malah masuk hutan sih?" tanya Riona penasaran karena semakin lama hutan semakin licin.

"Ada jalan lain sih Na, tapi muterin hutan makin jauh." jawab Rendra datar.

"Masih jauh nggak perjalanannya, capek nih."

"Kamu bawel banget sih, baru juga seperempat perjalanan, udha ngeluh aja, dasar cewek," gerutu Rendra mulai sebal.

"Tapi emang capek beneran tahu," bela Riona tak mau kalah.

"Ya udah, istirahat dulu aja, daripada dibawelin, males akunya."

"Nah gitu dong, aku kan belum kenal medan, terimkasih ya."

Setelah 4 jam perjalanan, hutan berangsur-angsur mulai terang. Cahaya matahari masuk melalui celah diantara dedaunan yang tak lagi rapat. Setengah jam kemudian nampak rumah-rumah penduduk dan beberapa wanita paruh baya yang sedang menumbuk padi dengan lumpang.

Riona terbelalak dibuatnya. Ia seperti menyaksikan film tutur tinular, tapi ini nyata di depan matanya.

Bersambung
Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

There is no other posts in this category.

2 komentar

Posting Komentar