Gara-Gara Bau

Posting Komentar
"Huekss, Bau apa ini Ma?" tanya Adit saat kami melintas di lorong lapak pasar tradisional.

"Ssst, jangan keras-keras ngomong kek gitunya," kataku lirih pada Adit.

"Emangnya kenapa Ma, bau apa tho ini Ma?" tanya Adit sekali lagi.

"Ya bau pasar lah Dit, tadi kan Mama sudah bilang, nggak usah ikut."

"Tapi Adit sudah lama sekali nggak pernah ikut Mama ke pasar." bela Adit tak mau disalahkan.


"Hmmm, ya udah jalan aja ya ikuti Mama, masih banyak yang mau Mama beli." ucapku mengehentikan percakapan tentang bau.

Aku masih ingat betul terakhir kali aku mengajak Adit ke pasar. Saat usianya dua setengah tahun. Dia marah-marah dan minta pulang lantaran pasar tempat kami belanja becek dan bau.

Waktu itu aku mengalah pulang tanpa membawa satu pun hasil belanja. Bagaimana tidak mengalah, saat Adit marah dan menangis, hampir seluruh mata tertuju ke kami dengan tatapan yang ahh, susah kujelsakan secara detail. Apalagi melihat Adit yang berkali-kali menahan muntah, kasihan dan iba tentu saja.

Hampir dua tahun terlewati. Aku tak pernah lagi mengajak Adit ke pasar .Tapi tadi pagi, mendengar aku mau ke pasar, Adit keukeuh untuk ikut. Aku pun memintanya berjanji untuk tidak minta pulang sebelum aku selesai. Dia mengiyakannya.

Saat menyusuri lorong ikan segar. Jantungku berdetak lebih kencang. Bukan apa-apa, aku takut Adit membuat ulah seperti dulu. Aku sadar betul, Adit sangat peka pada bebauan.

Jika di rumah ada yang membuang gas sembarangan, Adit pasti mengomel. Seringkali Ayah yang seperti itu. Dan Ayah malah sengaja membuang gas di depan Adit. Pernah dulu Ayah mau kentut, tapi ia lebih dulu mencari Adit yang sedang asik main air di halaman depan. Aku yang mengomel karenanya.

"Ma, baunya tambah nggak enak disini Ma," teriak Adit sembari menutup hidung mungilnya.

Deg. Yang kutakutkan terjadi juga. Dua orang penjual ikan segar menatap kami dengan jengkel. Aku jengah ditatap seperti itu.

"Ma, ayuk udahan, bau Ma, bau banget." Adit mulai menarik-narik tanganku minta keluar.

"Ma, Adit mau muntah," kata Adit sekali lagi dengan menutup hidung dan mulutnya.


Sepertinya jika ini ada di adegan sinetrom Indonesia, di atas kepalaku sudah mengepul asap menahan marah.

"Tadi Mama bialang apa ke Adit sebelum berangkat?"

"Tapi bau Ma,"

"Adit sudah janji lo nggak minta pulang sebelum Mama selesai," kataku tegas tanpa kompromi.

"Adit mau muntah Ma," kata Adit memelas menahan bau.

"Ya sudah, Adit tunggu Mama di motor ya, jangan kemana-mana, Mama tinggal beli ikan aja habis itu kita pulang."

Aku menggandeng Adit ke parkiran. Aku memastikan sekali lagi agar dia tidak pergi kemanapun sebelum aku kembali. Jarak dari lapak ikan ke parkiran pinggir jalan juga dekat dan aku masih bisa memantaunya. Jadi aku yakin untuk meninggalkannya sendirian di samping motor.

Aku kembali ke lapak ikan dengan tangan kosong. Beberapa belanjaan yang tadi sudah kubeli, kutaruh di cantelan motor. Aku segera mencari ikan yang masih nampak segar.

Mataku tertuju pada ikan mas selebar telapak tangan. Ahaa, itu dia ikan mas kesukaan ayah. Aku meluncur ke penjual tersebut. Memilih beberapa ekor ikan mas. Penjual dengan ramah menwari beberapa ikan lain yang juga nampak segar. Tanpa pikir panjang aku mengiyakan tawarannya, ikan mujaer juga sepertinya oke untuk makan siang, ikan masnya untuk makan malam.

Ternyata aku menghabiskan waktu cukup lama saat membeli ikan. Aku bahkan luoa meninggalkan Adit sendirian di tempat parkir. Astaghfirullah. Aku berjalan cepat ke tempat tadi aku meninggalkan Adit. Mataku mendadak panas. Tubuhku gemetar. Adit tak terlihat disana. Aku menoleh ke sekelilinh. Nihil. Tak ada Adit dimanapun. Tangisku mulai pecah dalam isak.

Dengan menggenggam buntelan plastik yang berisi ikan, aku mulai bertanya pada siapa pun yang ada di sekitar sana. Dan tak ada satu orang pun yang melihat Adit. Aku bahkan sudah kembali ke dalam pasar, kali saja aku terlalu lama dan Adit mencariku ke dalam. Tapi tak kutemukan Adit dimanapun.

Isak tangis yang tadi hanya bisa kudengar sendiri, kali ini pecah dan tumpah ruah. Aor mataku bercucuran. Mataku memerah. Hidunhku meler. Aku tak bisa berpikir rasional. Berbagai prasangka muncul dalam otak. Aku bahkan belum menhhubungi ayah di rumah.

Hampir satu jam aku bertanya kesana kemari dengan berjalan kaki. Seisi pasar pun mulai prihatin melihat kondisiku. Aku menangis sesenggukan menyusuri jalanan ditemani bapak tukang parkir, yang entah kenapa ikut merasa bersalah.

Karena tak kunjung kutemukan, beberapa otanh menyarankan agar aku melapor ke Kantor Polisi. Aku pun mengiyakan mereka. Karena aku tak tahu lagi apa yang harus aku perbuat. Aku takut, takut sekali.

Letak Kantor Polisi tak jauh dari pasar. Berjarak hanya sekitar 300 M ke arah barat. Aku berjalan kaki kesana, masih menenteng buntelan ikan dan masih ditemani bapak tukang parkir.

Saat aku tiba di Kantor Polisi, hanya ada satu orang yang berjaga. Mungkin yang lain di dalam atau ada tugas lain. Aku mengantri dengan empat orang yang sudah lebih dulu disana.

Dari hasil perbincangan bapak tukang parkir dengan mereka, keperluan mereka adalah membuat SKCK unyuk melamar kerja. Aku hanya mendengar dan tak berkomentar apapun. Yang kupikirkan sekarang hanyalah Adit. Bagaimana keadaannya. Bagaimana kalau Adit diculik orang jahat, bagaimana kalau Adit dibawa pedofil, bagaimana kalau Adit diculik dan disuruh mengamen di jalalan.

Air mataku semakin tumpah ruah. Sesenggukan di kursi kayu Kantor Polisi. Bapak tukang perkir menatapku dengan iba.

"Assalamualaikum."

Seorang bapak tua masuk dengan menggandeng seorang bocah laki-laki. Aku hanya melihatnya sekilas karena pikiranku oenuh dengan Adit. Tapi kulirik sekali lagi.

"Adit!" pekikku keras.

Akupun berlari dan segera kupeluk anak semata wayangku. Kuciumi sekujur tubuhnya. Kulihat detail satu persatu matanya, pipinya, anggota tubuhnya. Semuanya. Aroma tubuhnya masih sama, tak ada yang berubah. Hanyabada tambahan aroma keringat yang dari kecil kunikmati.

"Owalah, anak Ibu tho?" kata bapak tua tadi


"Iya, ini anak saya, kok sama Bapak, bagaimana ceriatanya?"

"Saya nggak tahu gimana ceritanya, dia ngikutin saya, ngekor terus di belakang saya, kayaknya sih dari dekat pasar. Saya baru sadar pas di pom bensin saya mau pipis, dia ikut belok ke pom bensin."

Aku mencari kejujuran di mata bapak tua itu. Tak ada kebohongan di sinar matanya. Sepertinya memnag bapak ini jujur.

"Iya Ma, bapaknya ini jualan es krim, Adit pengen beli tapi nggak bawa uang, jadi Adit ikutin biar nanti Adit tahu dimana berhentinya, terus bilang Mama."

"Ya Allah le, kamu pengen eskrimnya Bapak tho? Kok tadi nggak bilang sama bapak."

Kudekap Adit lebih erat. Kuciumi rambutnya.

"Maafkan Mama ya Dit," hanya itu yang yang telontar dari mulutku.

"Saya lanjutin nggih Bu, takut njenengan salah paham"

Aku mengangguk. Bapak tukang parkir pun mengangguk.

"Nah, pas di Pom bensin tadi akhirnya saya tanya ke dia rumahnya dimana, ibunya dimana, siapa, tapi nggak jawab, cuma menggeleng dan bilang mama."

"Daripada saya bingung, saya berniat lapor ke Kantor Polisi, eh alhamdulillah malah ketemu ibunya disini."

Mendengar penjelasan bapak tua ini, aku bersyukur berkali-kali. Aku tak bisa membayangkan jika bertemu orang lain yang tak sebaik bapak ini. Kudengar bapak tukang parkir di sebelahku ikut mengucap syukur. Bapak polisi dan empat orang yang tadi mengantre pun ikut menonton adegan dramatis kami.

"Pak, gerobak es krim Bapak dimana?" tanyaku pada bapak tua.

"Di luar Bu, masak mau dibawa ke dalam," ucap bapak tua mengajak bercanada.

Aku tersenyum.
Kami bersama keluar Kantor Polisi, aku tak perlu lagi membuat laporan kehilangan. Di halaman Kantor Polisi, sebuah gerobak kecil tua terparkir di bawah pohon kersen.

"Ma, Adit mau eskrim," rengek Adit yang masih belum paham dengan apa yang terjadi karena ulahnya.

Aku tersenyum dan meminta bapak tua untuk membuatkan eskrim untuk Adit. Eskrim yanh dijual bapak tua ini adalah eskrim rumahan yang tak perlu teknologi canggih untuk mengolahnya. Mungkin sebagian orang menyebutnya es tungtung.

"Berapa Pak?" tanyaku setelah bapak tua memberikan eskrim itu ke Adit, aku, bapak tukang parkir dan empat orang yang mengantre di dalam termasuk Pak Polisi yang berjaga. Aku yang memintanya untuj membuatkan sekalian yang ada disini.

"Semuanya tujuh nggih Bu, jadinya empat belas ribu."

Aku memberinya beberapa lembar ratusan ribu untuk membayar es krim yang kubeli, sekaligus tanda terimakasihku telamh mengembalikan Aditku.

"Loh, kok banyak banget Bu?" Bapak tua itu alget setengah mati.

"Nggak Pak, itu untuk bapak, terimakasih ya Pak. Semoga kebaikan Bapak dibalas berlipat-lipat oleh Allah."

"Ya Allah, rejeki ini Bu rejeki, maturnuwun nggih Bu, wong saya nggak ngapa-ngapain cuma nganter ke Kantor Polisi. Kebetulan besok anak saya yang paling kecil mau ulangan Bu, belum lunas SPP nya. Maturnuwun nggih Bu"

"Saya yang harusnya berterimakasih sama Bapak."

Di tempat duduk, kulihat bapak tukang parkir tersenyum melihat kami. Adit asik menikmati es krimnya yang memang enak sekali.

#TantanganOdop2 #Part1
#Onedayonepost
#Odopbatch6
#Fiksi
Naila Zulfa
Seorang istri dan ibu pembelajar serta Praktisi HR yang suka dunia literasi. Selamat datang di Dunia Naila, semoga apa yang dibaca bermanfaat.

Related Posts

Posting Komentar