Siang
ini panas begitu terik. Udara terasa mencekik. Berkali-kali aku
melihat jam merah marun yang melingkar di tangan. Jadwal kereta yang
akan membawaku ke Surabaya masih 1 jam lagi. Ransel merah yang penuh
dengan baju untuk dua hari kuletakkan di lantai, menjadi sandaran
kaki. Iseng, aku mengamati flat shoes beludru
kesayanganku. Warna marunnya kini semakin memudar karena terlalu
sering kupakai. Jenuh dengan kesendirian, Aku memilih untuk
berselancar di instagram.
Sebenarnya salahku sendiri yang datang terlalu dini. Aku takut
terlambat seperti tiga bulan lalu. Mau tak mau aku harus memilih bis
sebagai pengganti kereta yang meninggalkanku. Belajar dari
pengalaman, aku berangkat dari rumah satu jam lebih awal. Tiba di
Stasiun masih sangat lengang, belum ada penumpang Argo Bromo Anggrek
satu pun. Baru ada beberapa penumpang kereta Kaligung yang akan
menuju Semarang. Aku bukannya sok tahu, aku tahu karena saat Kaligung
datang dari Tegal, satu per satu dari mereka masuk ke dalam,
meninggalkanku sendirian di ruang tunggu.
Bosan
dengan instagram. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru arah.
Kuamati truk-truk besar berderet menanti antrian lampu merah, tepat
di seberang stasiun. Kuhirup aroma kopi yang menguar dari toko roti
di ujung barat gedung ini. Du penjaga pintu masuk ruang tunggu utama
berbincang seru, tak mengindahkanku yang teronggok seorang diri
menanti kereta. Alhamdulillah, gawaiku berdering, notifikasi grup
yang lupa belum ku-silent.
Nampaknya ada perbincangan ramai di grup. Karena penasaran kubuka
obrolan grup. Aku tertawa sendiri membaca meme-meme yang lucu dan
satir. Ternyata grup sedang ramai beradu meme.
Tiba-tiba aku merasa ada yang memperhatikanku. Saat menoleh, memang
benar, ada anak kecil duduk persis di sebelahku. Kuedarkan pandangan,
tak ada orang dewasa lain. Mungkin anak tukang parkir atau penjual di
sekitar sini. Tampilannya kumal dan dekil. Menggunakan baju seragam
sekolah yang sudah lusuh dan kotor. Rambutnya kusut masai. Aroma
keringatnya asin bercampur langu.
“Mbak,
aku haus,” kata anak kecil dengan muka kelelahan.
“Adek
sendirian? ibunya dimana?” tanyaku tak mengindahkan permintaannya.
Aku mulai waspada, mengingat berbagai modus kejahatan sekarang
beraneka rupa.
“Aku
haus Mbak, boleh minta minumnya?” katanya sekali lagi.
Kuamati
wajahnya yang tirus, menghitam karena panas. Rambutnya meranggas.
Bibirnya pecah-pecah. Rasa ibaku bermunculan. Aku segera mengeluarkan
tumbler merah
berukuran 1 liter yang tinggal separuhnya. Kuulurkan padanya,
“Silahkan minum dulu Dek.”
Ia menenggaknya dalam sekali tegukan. Habis tak bersisa. Aku melongo
dibuatnya. Kutanyakan padanya sekali lagi, “Adek sama siapa? Dimana
ibunya?”
Ia hanya menggeleng. Kuubah pertanyaanku, “Adek mau kemana? Kok
sendirian?”
“Aku
mau mencari Ibu,” jawabnya mantap, berenergi dan penuh semangat.
“Emang
ibunya kemana Dek?”
“Pergi
ke Surabaya, katanya mau cari uang, tapi nggak pulang-pulang.” Aku
menelan ludah mendengarnya.
“Bapak
tahu adek mau menyusul Ibu?”
Ia menggeleng, namun air matanya tumpah meski tak ruah. Secepat kilat
ia menghapusnya. “Bapak sakit, aku ingin bilang ke ibu kalau bapak
sakit, biar Ibu mau pulang, kasian Bapak selalu mengigau memanggil
nama Ibu.” Ia menjelaskan dengan gemetar menahan tangis.
Aku menghela nafas, ingin sekali kupeluk anak itu. Tapi aku tahu ia
berusaha nampak tegar. Sepertinya masalah yang dihadapinya membuatnya
lebih dewasa dibanding usianya. “Adek namanya siapa? Usianya
sekarang berapa tahun?” tanyaku semakin penasaran.
“Namaku
Anis, aku kelas lima SD, Mbak bisa menolongku? Gimana caranya beli
tiket kereta agar aku bisa ketemu Ibu? aku cuma punya uang segini.”
Tanpa jeda ia berkata sembari mengeluarkan beberapa puluh ribuan dan
pecahan lainnya. Kutaksir, mungkin sekitar dua ratus ribu.
“Adek
tahu alamat pasti Ibu dimana?” Aku mulai khawatir dengan
kenekatannya. Ia mengagguk dan memberiku secarik kertas bertuliskan
alamat lengkap dengan blok dan nomor rumah. Aku mengernyit, seingatku
itu alamat perumahan elit.
“Dapat
alamat ini darimana Dek?”
“Aku
mengambilnya di dompet Bapak,” jawabnya polos.
“Adek
mau dengerin nasehat saya?” Ia mengagguk.
“Adek
masih kecil, belum bisa pergi jauh sendirian. Apalagi ke Surabya.
Bahaya ya Dek, sekarang mulai banyak culik berseliweran dimana-mana.
Saya bukannya menakut-nakuti, tapi ini demi kebaikan Adek.”
“Tapi
aku mau ketemu Ibu, Mbak.” Protesnya.
“Adek
sayang sama Bapak?” pancingku. Sekali lagi ia menangis, kemudian
mengangguk.
“Kalau
Adek sayang sama Bapak, lebih baik pulang, jaga Bapak di rumah, kalau
terjadi apa-apa sama Adek, nanti Bapak malah sedih. Rumah adek
dimana?”
“Aku
nggak mau pulang sebelum ketemu Ibu.” jawabnya keekeuh.
“Adek
mau dibantu?” tanyaku menawarkan.
“Aku
mau ketemu Ibu,” jawabnya tak berubah.
“Kalau
Adek mau dibantu, lebih baik sekarang pulang ya, saya mau ke
Surabaya, disana dua hari, nanti saya usahakan mencari alamat ini dan
menyampaikan pesan adek jika urusan saya sudah selesai, gimana?”
tawarku sembari memotret alamat tersebut dengan kamera hape.
Entahlah, rasa ibaku yang berlebihan atau mungkin Allah mengutusku
untuk menolong anak ini. Aku serius mengucapkan kalimat itu barusan.
Tulus ingin menolong.
Ia tersenyum cerah. Wajahnya sumringah. Cantik. Indah. “Benarkah
Mbak?”
Aku tersenyum dan kuusap rambut kumalnya. “Insya Allah ya Dek,”
kuambil jeda sejenak dan kulanjutkan, “Sekarang Adek pulang ya,
rumahnya dimana?”
“Bojong Mbak.” Mendengar kata Bojong, aku kaget. Lokasinya cukup jauh dari Stasiun
Pekalongan. Dengan berkendara saja membutuhkan sekitar 40 menit
perjalanan.
“Tadi Adek kesini naik apa?” tanyaku curiga.
“Aku
jalan kaki Mbak,” jawabnya tegas anpa minta belas kasihan
“Hah?! Astaghfirullahaldzim, itu jauh banget, untung nggak ada yang nyulik
kamu.” Pantas saja dia tadi kehausan dan kelelahan. Dia malah
tersenyum mendengar kekagetanku. Ah, tegar sekali gadis ini.
“Tadi
aku pamit ke Bapak untuk sekolah, tapi aku sudah bulat untuk ke
Surabaya. Dulu aku pernah kesini bersama Bapak saat mengantar Ibu
pergi,” jelasnya padaku.
“Kamu
masih hapal jalannya?” tanyaku takjub. Ia mengangguk. Mungkin
ingatannya memang sangat luar biasa.
“Tadi
sempat nyasar ke alun-alun yang depannya Masjid, terus nanya ke
tukang becak, terus saya diantar kesini."
“Kamu
kan tadi bawa uang, kenapa nggak kamu gunakan untuk bayar angkot aja
biar nggak perlu jalan kaki?”
“Aku
takut uangnya untuk bayar kereta kurang Mbak.”
“Ya
sudah, gini aja, Mbak anterin kamu pulang ya, biar aman.” Sejurus
kemudian aku sadar, aku sedang menanti kereta Argo Bromo yang
sebentar lagi tiba di stasiun ini.
“Jangan
Mbak, katanya mau ke Surabaya? mau menolong aku, nanti kalau keretanya datang gimana, aku bisa pulang sendiri.” Ia menolak dengan tegas.
Aku
menggeleng sembari berpikir. Aha! Aku
menarik tangannya, “Ayuk Mbak titipkan ke Petugas Stasiun,
Mbak punya teman disini, biar nanti diantar sama temannya Mbak ya.”
Sembari berjalan, aku memencet nomor telepon temanku itu. Aku tak
tahu pasti apa jabatannya, salah satu petinggi di Satisun ini. Lama
tak diangkat, tepat setelah aku masuk ke dalam ruang tunggu pembelian
tiket on the spot, teleponku
diangkatnya. Kujelaskan sedikit dan dia bersedia membantu. Kami pun bertemu di dalam ruang
tunggu. Kutitipkan Anis pada temanku, namanya Wawan. kami tak sempat berbincang panjang karena aku sudah terburu-buru. Aku segera pamit dan berlari-lari
kecil karena lima menit lagi kereta Argo Bromo Anggrek meninggalkan
Stasiun ini. Sepanjang perjalanan, tak sedikitpun kuingat materi presentasi meeting triwulan. Pikiranku penuh dengan gadis kecil tadi. Aku berdoa semoga Anis
baik-baik saja dan aku bisa menemukan Ibunya.
Latar kereta apinya belum terasa
BalasHapusKereen..
BalasHapusKereen..
BalasHapusAduhhh ... Jadi ikut sedih bacanya
BalasHapusWahh kisah Anis menyentuh banget 😢
BalasHapusBagus aku suka, kira-kira ketemu ibunya ngga ya
BalasHapusjadipengen nangis..
BalasHapusAyo bikin lanjutannya :)
BalasHapusAdeknya kerenn, sabar dan kuat banget... Niatnya gede... Lanjutkan mbakk
BalasHapusHay mba naila, ketemu lagi kita dinkelas fiksi.... 😍
BalasHapus